Selasa, 22 Januari 2013

Pijat dan ngeseks dengan pembantu - 3


"Mau"kan kamu mijit Bapak lagi ? Pegal2 nih kan udah seminggu"?
"Bisa Pak, jam berapa Bapak pulang ?
"Sekarang"?
"Baik Pak, tapi saya mau mandi dulu"?

Agak lama aku menunggu di depan pintu baru Tini membukanya.
"Maaf Pak, tadi baru mandi " Kata Tini tergopoh-gopoh. Ah, penisku mulai bergerak naik. Tini mengenakan daster yang basah di beberapa bagian dan
jelas sekali bentuk bulat buah kembarnya sebagai tanda dia tak memakai BH. Mungkin buru-buru.
"Engga apa-apa. Bisa mulai ?

"Bisa pak" saya ganti baju dulu"? Hampir saja aku bilang, engga usah, kamu gitu aja. Untung tak jadi, ketahuan banget ada maksud lain selain minta pijit. Aku masuk kamar dan segera bertelanjang bulat. Terbawa suasana, penisku udah tegak berdiri. Kututup dengan belitan handuk. Pintu diketok. Tini masuk. Mengenakan rok terusan berbunga kecil warna kuning cerah, agak ketat, agak pendek di atas lutut, berkancing di depan tengah sampai ke bawah, membuatnya makin tampak bersinar. Warna roknya sesuai benar dengan bersih kulitnya. Dada itu kelihatan makin menonjol saja. Penisku berdenyut.
"Siap Tin"?
"Ya pak"?
Dengan hanya berbalut handuk, aku rebah ke tempat tidur, tengkurap. Tini mulai dengan memencet telapak kakiku. Ini mungkin urutan yang benar. Cara memijat tubuhku bagian belakang sama seperti pijatan pertama minggu lalu, kecuali waktu mau memijat pantat, Tini melepaskan handukku, aku jadi benar2 bugil sekarang. Wangi sabun mandi tercium dari tubuhnya ketika ia memijat bahuku. Selama telungkup ini, penisku berganti-ganti antara tegang dan surut. Bila sampai pada daerah sensitif, langsung tegang. Kalau ngobrol basa-basi dan ’serius"?, surut. Kalau ngobrolnya menjurus, tegang lagi.
"Depannya Pak"?

Dengan tenang aku membalikkan tubuhku yang telanjang bulat. Bayangkan, terlentang telanjang di depan pembantu. Penisku sedang surut. Tini melirik penisku, lagi2 hanya sekilas, sebelum mulai mengurut kakiku. Sekarang aku dengan jelas bisa melihatnya. Bayanganku akan bentuk buah dadanya di balik pakaiannya membuat penisku mulai menggeliat. Apalagi ketika ia mulai mengurut pahaku. Batang itu sudah tegak berdiri. Cara mengurut paha masih sama, sesekali menyentuh buah pelir. Bedanya, Tini lebih sering memandangi kelaminku yang telah dalam kondisi siap tempur.
"Kenapa Tin ? Aku mulai iseng bertanya.

"Ah" engga "katanya sedikit gugup."?Cepet bangunnya
"hi ..hi..hi.."? katanya sambil ketawa polos.
"Iya dong". Kan masih sip kata kamu"?

Ada bedanya lagi. Kalau minggu lalu sehabis dari paha dia terus mengurut dadaku, kali ini dia langsung menggarap penisku, tanpa kuminta ! Apakah ini tanda2 dia akan bersedia kusetubuhi ? Jangan berharap dulu, mengingat"kesetiaan"?nya kepada isteriku. Cara mengurut penisku masih sama, pencet dan urut, hanya tanpa kocokan. Jadi aku tak sempat"mendaki"?, cuman" pengin menyetubuhinya !
"Udah. Benar2 masih sip, Pak"?

"Mau coba sipnya ? kataku tiba2 dan menjurus. Wajahnya sedikit berubah.
"Jangan dong Pak, itu kan milik Ibu. Masa sih sama pembantu"?
"Engga apa-apa" asal engga ada yang tahu aja ”?

Tini diam saja. Dia berpindah ke dadaku. Artinya jarak kami makin dekat, artinya rangsanganku makin bertambah, artinya aku bisa mulai menjamahnya.

Antara 2 kancing baju di dadanya terdapat celah terbuka yang menampakkan daging dada putih yang setengah terhimpit itu. Aduuuhhh". Aku mampu bertahan engga nih". Apakah aku akan melanggar janjiku ?

Seperti minggu lalu juga tangan kiriku mulai nakal. Kuusap-usap pantatnya yang padat dan menonjol itu. Seperti minggu lalu juga, Tini menghindar dengan sopan. Tapi kali ini tanganku bandel, terus saja kembali ke situ meski dihindari berkali-kali. Lama2 Tini membiarkannya, bahkan ketika tanganku tak hanya mengusap tapi mulai meremas-remas pantat itu, Tini tak ber-reaksi, masih asyik mengurut. Tini masih saja asyik mengurut walaupun tanganku kini sudah menerobos gaunnya mengelus-elus pahanya. Tapi itu tak lama, Tini mengubah posisi berdirinya dan meraih tangan nakalku karena hendak mengurutnya, sambil menarik nafas panjang. Entah apa arti tarikan nafasnya itu, karena memang sesak atau mulai terangsang ?

Tanganku mulai diurut. Ini berarti kesempatanku buat menjamah daerah dada. Pada kesempatan dia mengurut lengan atasku, telapak tanganku menyentuh bukit dadanya. Tak ada reaksi. Aku makin nekat. Tangan kananku yang sedari tadi nganggur, kini ikut menjamah dada sintal itu.
"Paak " Katanya pelan sambil menyingkirkan tanganku.

Okelah, untuk sementara aku nurut. Tak lama, aku sudah tak tahan untuk tak meremasi buah dada itu. Kudengar nafasnya sedikit meningkat temponya. Entah
karena capek memijat atau mulai terangsang akibat remasanku pada dadanya.

Yang penting : Dia tak menyingkirkan tanganku lagi. Aku makin nakal. Kancing paling atas kulepas, lalu jariku menyusup. Benar2 daging padat. Tak ada reaksi. Merasa kurang leluasa, satu lagi kancingnya kulepas. Kini telapak tanganku berhasil menyusup jauh sampai ke dalam BH-nya, Ah" putting dadanya sudah mengeras ! Tini menarik telapak tanganku dari dadanya.
"Bapak kok nakal sih " Katanya, dan ”.. tiba-tiba dia merebahkan tubuhnya ke dadaku. Aku sudah sangat paham akan sinyal ini. Berarti aku akan mendapatkannya, lupakan janjiku. Kupeluk tubuhnya erat2 lalu kuangkat sambil aku bangkit dan turun dari tempat tidur. Kubuka kancing blousenya lagi sehingga BH itu tampak seluruhnya. Buah dada sintal itu terlihat naik turun sesuai irama nafasnya yang mulai memburu. Kucium belahan dadanya, lalu bergeser ke kanan ke dada kirinya. Bukan main dada wanita muda ini. Bulat, padat, besar, putih.

Kuturunkan tali Bhnya sehingga putting tegang itu terbuka, dan langsung kusergap dengan mulutku."Aaahhffffhhhhh". Paaaaak"? rintihnya. Tak ada penolakan. Aku pindah ke dada kanan, kulum juga. Kupelorotkan roknya hingga jatuh ke lantai. Kulepaskan kaitan BH-nya sehingga jatuh juga. Dengan perlahan kurebahkan Tini ke kasur, dada besar itu berguncang indah. Kembali aku menciumi, menjilati dan mengulumi kedua buah dadanya. Tini tak malu2 lagi melenguh dan merintih sebagai tanda dia menikmati cumbuanku.

Tanganku mengusapi pahanya yang licin, lalu berhenti di pinggangnya dan mulai menarik CD-nya
"Jangan Pak".” Kata Tini terengah sambil mencegah melorotnya CD. Wah" engga bisa dong" aku udah sampai pada point no-return, harus berlanjut sampai hubungan kelamin.
"Engga apa-apa Tin ya". Bapak pengin". Badan kamu bagus bener ”? Waktu aku membuka Cdnya tadi, jelas kelihatan ada cairan bening yang lengket, menunjukkan bahwa dia sudah terangsang. Aku melanjutkan menarik CD-nya hingga lepas sama sekali. Tini tak mencegah lagi. Benar, Tini punya bulu
kelamin yang lebat. Kini dua2nya sudah polos, dan dua2nya sudah terangsang, tunggu apa lagi. Kubuka pahanya lebar lebar. Kuletakkan lututku di antara kedua pahanya. Kuarahkan kepala penisku di lubang yang telah membasah itu, lalu kutekan sambil merebahkan diri ke tubuhnya.

"Auww". Pelan2 Pak". Sakit".!"?
"Bapak pelan2 nih ”? Aku tarik sedikit lalu memainkannya di mulut vaginanya.
"Bapak sabar ya". Saya udah lamaa sekali engga gini ”?
"Ah masa ”?
"Benar Pak"?

"Iya deh" sekarang bapak masukin lagi ya". Pelan deh.."?
"Benar Bapak engga bilang ke Ibu"kan ?
"engga dong" gila apa"?
Terpaksa aku pegangi penisku agar masuknya terkontrol. Kugeser-geser lagi di pintu vaginanya, ini akan menambah rangsangannya. Baru setelah itu menusuk sedikit dan pelan.
"Aaghhhhfff"? serunya, tapi tak ada penolakan kaya tadi

"Sakit lagi Tin " Tini hanya menggelengkan kepalanya.
"Terusin Pak"perlahan"? sekarang dia yang minta. Aku menekan lagi. AH" bukan main sempitnya vagina wanita muda ini. Kugosok-gosok lagi sebelum aku menekannya lagi. Mentok. Kalau dengan isteriku atau Si Ani, tekanan segini sudah cukup menenggelamkan penisku di vaginanya masing-masing. Tini memang beda. Tekan, goyang, tekan goyang, dibantu juga oleh goyangan Tini, akhirnya seluruh batang panisku tenggelam di vagina Tini yang sempit itu. Benar2 penisku terasa dijepit. Aku menarik penisku kembali secara amat perlahan. Gesekan dinding vagina sempit ini dengan kulit penisku begitu nikmat kurasakan. Setelah hampir sampai ke ujung, kutekan lagi perlahan pula sampai mentok. Demikian seterusnya dengan bertahap menambah kecepatan. Tingkah Tini sudah tak karuan. Selain merintih dan teriak, dia gerakkan tubuhnya dengan liar. Dari tangan meremas sampai membanting kepalanya sendiri. Semuanya liar. Akupun asyik memompa sambil merasakan nikmatnya gesekan. Kadang kocokan cepat, kadang gesekan pelan. Penisku mampu merasakan relung2 dinding vaginanya. Memang beda, janda muda beranak satu ini dibandingkan dengan isteriku yang telah kali melahirkan. Beda juga rasanya dengan Ani yang walaupun juga punya anak satu tapi sudah 30 tahun dan sering dimasuki oleh suaminya dan aku sendiri.

Aku masih memompa. Masih bervariasi kecepatannya. Nah, saat aku memompa cepat, tiba2 Tini menggerak-gerakan tubuhnya lebih liar, kepalanya berguncang dan kuku jarinya mencengkeram punggungku kuat-kuat sambil menjerit, benar2 menjerit ! Dua detik kemudian gerakan tubuhnya total berhenti, cengkeraman makin kuat, dan penisku merasakan ada denyutan teratur di dalam sana. Ohh" nikmatnya".. Akupun menghentikan pompaanku. Lalu beberapa detik kemudian kepalanya rebah di bantal dan kedua belah tangannya terkulai ke kasur, lemas". Tini telah mencapai orgasme ! Sementara aku sedang mendaki.
"Paaak" ooohhhh".."?
"Kenapa Tin ”?
"Ooohh sedapnya ”?

Lalu diam, hening dan tenang. Tapi tak lama. Sebentar kemudian badannya berguncang, teratur. Tini menangis !
"Kenapa Tin ”?
Air matanya mengalir. Masih menangis. Kaya gadis yang baru diperawani saja.
’saya berdosa ama Ibu"? katanya kemudian
"Engga apa-apa Tin".. Kan Bapak yang mau"?

"Iya .. Bapak yang mulai sih. Kenapa Pak ? Jadinya saya engga bisa menahan "
Aku diam saja.
"Saya khawatir Pak "
"Sama Ibu ? Bapak engga akan bilang ke siapapun"?
"Juga khawatir kalo" kalo ”?
"Kalo apa Tin ?

"Kalo saya ketagihan "
"Oh" jangan khawatir, Pasti Bapak kasih kalo kamu pengin lagi. Tinggal bilang aja"?
"Ya itu masalahnya"?
"Kenapa ?
"Kalo sering2 kan lama2 ketahuan .."?

"Yaah" harus hati2 dong"? kataku sambil mulai lagi menggoyang. Kan aku belum sampai.
"Ehhmmmmmm" reaksinya. Goyang terus. Tarik ulur. Makin cepat. Tini juga mulai ikut bergoyang. Makin cepat. Aku merasakan hampir sampai di puncak.
"Tin "

"Ya" Pak "
"Bapak". hampir". sampai ”?
"Teruus" Pak"?
"Kalo".. keluar ”.gimana ?
"Keluarin"..aja ” Pak"… Engga". apa-apa"?
"Engga".. usah ” dicabut"?
"Jangan".. pak ”. aman".. kok"?

Aku mempercepat genjotanku. Gesekan dinding vaginanya yang sangat terasa mengakibatkan aku cepat mencaki puncak. Kubenamkan penisku dalam2
Kusemprotkan maniku kuat2 di dalam. Sampai habis. Sampai lunglai. Sampai lemas.

Beberapa menit berikutnya kami masih membisu. Baru saja aku mengalami kenikmatan luar biasa. Suatu nikmat hubungan seks yang baru sekarang aku alami lagi setelah belasan tahun lalu berbulan madu dengan isteriku. Vagina Tini memang"gurih"?, dan aku bebas mencapai puncak tanpa khawatir resiko. Tapi benarkah tanpa resiko. Tadi dia bilang aman. Benarkah ?
"Tin "
"Ya .. Pak"?
"Makasih ya" benar2 nikmat"?
"Sama-sama Pak. Saya juga merasakan nikmat"?
"Masa .."?

"Iya Pak. Ibu benar2 beruntung mendapatkan Bapak"?
"Ah kamu ”?
"Baner Pak. Sama suami engga seenak ini"?
"Oh ya ”?

"Percaya engga Pak". Baru kali ini saya merasa kaya melayang-layang ”?
"Emang sama suami engga melayang, gitu"?
"Engga Pak. Seperti yang saya bilang" punya Bapak bagus banget"?
"Katamu tadi". Udah berapa lama kamu engga begini .."?
"Sejak".ehm".. udah 4 bulan Pak"?

"Lho". Katanya kamu udah cerai 5 bulan"?
"Benar ”?
"Trus ?
"Waktu itu saya kepepet Pak"?
"Sama siapa"?

"Sama tamu. Tapi baru sekali itu Pak. Makanya saya hanya sebulan kerja di panti pijat itu. Engga tahan diganggu terus"?
"Cerita dong semuanya"?

"Ada tamu yang nafsunya gede banget. Udah saya kocok sampai keluar, masih aja dia mengganggu. Saya sampai tinggalin dia. Trus akhirnya dia ninggalin duit, lumayan banyak, sambil bilang saya ditunggu di Halte dekat sini, hari Sabtu jam 10.00. Dia mau ajak saya ke Hotel. Kalo saya mau, akan dikasih lagi sebesar itu"?
"Trus ?

"Saya waktu itu benar2 butuh buat bayar rumah sakit, biaya perawatan adik saya. Jadi saya mau"?
"Pernah sama tamu yang lain ?

"Engga pernah Pak. Habis itu trus saya langsung berhenti"?
"Kapan kamu terakhir"main" ?

"Ya itu" sama tamu yang nafsunya gede itu, 4 bulan lalu. Setelah itu saya kerja jadi pembantu sebelum kesini. Selama itu saya engga pernah"?main"?, sampai barusan tadi sama Bapak ”. Enak banget barusan ” kali karena udah lama engga ngrasain ya"Pak" atau emang punya Bapak siip banget"hi..hi.."?

Polos banget anak ini. Aku juga merasakan nikmat yang sangat. Dia
mungkin engga menyadari bahwa dia punya vagina yang"legit"?, lengket-lengket sempit, dan seret."Kamu engga takut hamil sama tamu itu ?
"Engga. Sehabis saya melahirkan kan pasang aiyudi (maksudnya IUD, spiral alat KB).

Waktu cerai saya engga lepas, sampai sekarang. Bapak takut saya hamil ya"?
Aku lega bukan main. Berarti untuk selanjutnya, aku bisa dengan bebas menidurinya tanpa khawatir dia akan hamil".
"Jam berapa Pak ?

"Jam 4 lewat 5"?
"Pijitnya udah ya Pak". Saya mau ke belakang dulu"?

"Udah disitu aja"? kataku sambil menyuruh dia ke kamar mandi dalam kamarku. Dengan tenangnya Tini beranjak menuju kamar mandi, masih telanjang. Goyang pantatnya lumayan juga. Tak lama kemudian Tini muncul lagi. Baru sekarang aku bisa jelas melihat sepasang buah dada besarnya.
Bergoyang seirama langkahnya menuju ke tempat tidur memungut BH-nya. Melihat caranya memakai BH, aku jadi terangsang. Penisku mulai bangun lagi. Aku masih punya sekitar 45 menit sebelum isteriku pulang, cukup buat satu ronde lagi. Begitu Tini memungut CD-nya, tangannya kupegang, kuremas.
"Bapak pengin lagi, Tin"?

"Ah" nanti Ibu keburu dateng , Pak"?
"Masih ada waktu kok"?
"Ah Bapak nih" gede juga nafsunya"? katanya, tapi tak menolak ketika BH nya kulepas lagi. Sore itu kembali aku menikmati vagina legit milik Tini, janda muda beranak satu, pembantu rumah tanggaku"..

Hubungan seks kami selanjutnya tak perlu didahului oleh acara pijitan. Kapan aku mau tinggal pilih waktu yang aman (cuma Tini sendirian di rumah) biasanya sekitar jam 2 siang. Tini selalu menyambutku dengan antusias, sebab dia juga menikmati permainan penisku. Tempatnya, lebih aman di kamarnya, walaupun kurang nyaman. Bahkan dia mulai"berani"? memanggilku untuk menyetubuhinya. Suatu siang dia meneleponku ke kantor menginformasikan bahwa Uci udah berangkat sekolah dan Ade pergi less bahasa Inggris, itu artinya dia sendirian di rumah, artinya dia juga pengin disetubuhi. Terbukti, ketika aku langsung pulang, Tini menyambutku di pintu hanya berbalut handuk. Begitu pintu kukunci, dia langsung membuang handuknya dan menelanjangiku ! Langsung saja kita main di sofa ruang tamu ”.

Tamat

Tante Yani - 3


Selasai mandi hari sudah hampir gelap. Di ruang keluarga Tante sedang duduk di sofa nonton TV sendiri.

“Senamnya di mana Tante ?” Aku coba membuka percakapan. Aku memberanikan diri duduk di sofa yang sama sebelah kanannya.

“Dekat, di Tebet Timur Dalam”. Malam ini Tante mengenakan daster pendek tak berlengan, ada kancing-kancing di tengahnya, dari atas ke bawah.

“Tumben, kamu tidur siang”

“Iya Tante, tadi main voli di situ” jawabku tangkas.

“Kamu suka main voli ?”

“Di Kampung saya sering olah-raga Tante” Aku mulai berani memandangnya langsung, dari dekat lagi. Ih, bahu dan lengan atasnya putih banget!

“Pantesan badanmu bagus” Senang juga aku dipuji Tanteku yang rupawan ini.

“Ah, Kalau ini mungkin saya dari kecil kerja keras di kebun, Tante” Wow, buah putih itu mengintip di antara kancing pertama dan kedua di tengah dasternya. Ada yang bergerak di celanaku.

“Kerja apa di kebun ?”

“Mengolah tanah, menanam, memupuk, panen” Buah dada itu rasanya mau meledak keluar.

“Apa saja yang kamu tanam ?” tanyanya lagi sambil mengubah posisi duduknya, menyilangkan sebelah kakinya.

Kancing terakhir daster itu sudah terlepas. Waktu sebelah pahanya menaiki pahanya yang lain, ujung kain daster itu tidak “ikut”, jadi 70 % paha Tante tersuguh di depan mataku. Putih licin. Yang tadi bergerak di celanaku, berangsur membesar.

“Macam-macam tergantung musimnya, Tante. Kentang, jagung, tomat” Hampir saja aku ketahuan mataku memelototi pahanya.

“Kalau kamu mau makan, duluan aja”

“Nanti aja Tante, nunggu Oom” Aku memang belum lapar. Adikku mungkin yang “lapar”

“Oom tadi nelepon ada acara makan malam sama tamu dari Singapur, pulangnya malam”

“Saya belum lapar” jawabku supaya aku tidak kehilangan momen yang bagus ini.

“Kamu betah di sini ?” Ia membungkuk memijit-mijit kakinya. Betisnya itu…

“Kerasan sekali, Tante. Cuman saya banyak waktu luang Tante, biasa kerja di kampung, sih. Kalau ada yang bisa saya bantu Tante, saya siap”

“Ya, kamu biasakan dulu di sini, nanti Tante kasih tugas”

“Kenapa kakinya Tante ?” Sekedar ada alasan buat menikmati betisnya.

“Pegel, tadi senamnya habis-habisan”

Di antara kancing daster yang satu dengan kancing lainnya terdapat “celah”. Ada yang sempit, ada yang lebar, ada yang tertutup. Celah pertama, lebar karena busungan dadanya, menyuguhkan bagian kanan atas buah dada kiri. Celah kedua memperlihatkan kutang bagian bawah. Celah ketiga rapat, celah keempat tak begitu lebar, ada perutnya. Celah berikutnya walaupun sempit tapi cukup membuatku tahu kalau celana dalam Tante warna merah jambu. Ke bawah lagi ada sedikit paha atas dan terakhir, ya yang kancingnya lepas tadi.

“Mau bantu Tante sekarang ?”

“Kapan saja saya siap”

“Betul ?”

“Kewajiban saya, Tante. Masa numpang di sini engga kerja apa-apa”

“Pijit kaki Tante, mau ?”

Hah ? Aku tak menyangka diberi tugas mendebarkan ini

“Biasanya sama Si Mar, tapi dia lagi engga ada”

“Tapi saya engga bisa mijit Tante, cuma sekali saya pernah mijit kaki teman yang keseleo karena main bola” Aku berharap ia jangan membatalkan perintahnya.

“Engga apa-apa. Tante ambil bantal dulu” Goyang pinggulnya itu…

Sekarang ia tengkurap di karpet. Hatiku bersorak. Aku mulai dari pergelangan kaki kirinya. Aah, halusnya kulit itu. Hampir seluruh tubuh Tante pernah kulihat, tapi baru inilah aku merasakan mulus kulitnya. Mataku ke betis lainnya mengamati bulu-bulu halus.

“Begini Tante, kurang keras engga ?”

“Cukup segitu aja, enak kok”

Tangan memijit, mata jelalatan. Lekukan pantat itu bulat menjulang, sampai di pinggang turun menukik, di punggung mendaki lagi. Indah. Kakinya sedikit membuka, memungkinkan mataku menerobos ke celah pahanya. Tanganku pindah ke betis kanannya aku menggeser dudukku ke tengah, dan..terobosan mataku ke celah paha sampai ke celana dalam merah jambu itu. Huuuh, sekarang aku betul-betul keras.

“Aah” teriaknya pelan ketika tanganku menjamah ke belakang lututnya.

“Maaf Tante”

“Engga apa-apa. Jangan di situ, sakit. Ke atas saja”

Ke Atas ? Berarti ke pahanya ? Apa tidak salah nih ? Jelas kok, perintahnya. Akupun ke paha belakangnya.

Ampuuun, halusnya paha itu. Kulit Tante memang istimewa. Kalau ada lalat hinggap di paha itu, mungkin tergelincir karena licin!

Aku mulai tak tenang. Nafas mulai tersengal, entah karena mijit atau terangsang, atau keduanya. Aku tak hanya memijit, terkadang mengelusnya, habis tak tahan. Tapi Tante diam saja.

Kedua paha yang diluar, yang tak tertutup daster selesai kupijit. Entah karena aku sudah “tinggi” atau aku mulai nakal, tanganku terus ke atas menerobos dasternya.

“Eeeh” desahnya pelan. Hanya mendesah, tidak protes!

Kedua tanganku ada di paha kirinya terus memijit. Kenyal, padat. Tepi dasternya dengan sendirinya terangkat karena gerakan pijitanku. Kini seluruh paha kirinya terbuka gamblang, bahkan sebagian pantatnya yang melambung itu tampak. Pindah ke paha kanan aku tak ragu-ragu lagi menyingkap dasternya.

“Enak To, kamu pintar juga memijit”

Aku hampir saja berkomentar :”Paha Tante indah sekali”. Untung aku masih bisa menahan diri. Terus memijit, sekali-kali mengelus.

“Ke atas lagi To” suaranya jadi serak.

Ini yang kuimpikan! Sudah lama aku ingin meremas pantat yang menonjol indah ke belakang itu, kini aku disuruh memijitnya! Dengan senang hati Tante!

Aku betul-betul meremas kedua gundukan itu, bukan memijit, dari luar daster tentunya. Dengan gemas malah! Keras dan padat.

Ah, Tante. Tante tidak tahu dengan begini justru menyiksa saya! kataku dalam hati. Rasanya aku ingin menubruk, menindihkan kelaminku yang keras ini ke dua gundukan itu. Pasti lebih nikmat dibandingkan ketika memeluk tubuh mbak Mar dari belakang.

“Ih, geli To. Udah ah, jangan di situ terus” ujarnya menggelinjang kegelian. Barusan aku memang meremas pinggir pinggulnya, dengan sengaja!

“Cape, To ?” tanyanya lagi.

“Sama sekali engga, Tante” jawabku cepat, khawatir saat menyenangkan ini berakhir.

“Bener nih ? Kalau masih mau terus, sekarang punggung, ya ?”. Aha, “daerah jamahan” baru!

Bahunya kanan dan kiri kupencet.

“Eeh” desahnya pelan.

Turun ke sekitar kedua tulang belikat. Lagi-lagi melenguh. Daster tak berlengan ini menampakkan keteknya yang licin tak berbulu. Rajin bercukur, mungkin. Ah, di bawah ketek itu ada pinggiran buah putih. Dada busungnya tergencet, jadi buah itu “terbuang” ke samping. Nakalku kambuh. Ketika beroperasi di bawah belikat, tanganku bergerak ke samping.

Jari-jariku menyentuh “tumpahan” buah itu. Tidak langsung sih, masih ada lapisan kain daster dan kutang, tapi kenyalnya buah itu terasa. Punggungnya sedikit berguncang, aku makin terangsang.

Ke bawah lagi, aku menelusuri pinggangnya.

“Cukup, To..” Kedua tangannya lurus ke atas. Ia tengkurap total. Nafasnya terengah-engah.

“Depannya Tante ?” usulku nakal. Lancang benar kau To. Tante sampai menoleh melihatku, kaget barangkali atas usulku yang berani itu.

“Kaki depannya ‘kan belum Tante” aku cepat-cepat meralat usulku. Takut dikiranya aku ingin memijit “depannya punggung” yang artinya buah dada!

“Boleh aja kalau kamu engga cape”. Ya jelas engga dong! Tante berbalik terlentang. Sekejap aku sempat menangkap guncangan dadanya ketika ia berbalik. Wow! Guncangan tadi menunjukkan “eksistensi” kemolekkan buah dadanya! Aduuh, bagaimana aku bisa bertahan nih ? Tubuh molek terlentang dekat di depanku. Ia cepat menarik dasternya ke bawah, sebagai reaksi atas mataku yang menatap ujung celana dalamnya yang tiba-tiba terbuka, karena gerakan berbalik tadi. Silakan ditutup saja Tante, toh aku sudah tahu apa yang ada dibaliknya, rambut-rambut halus agak lurus, hitam, mengkilat, dan lebat. Lagi pula aku masih bisa menikmati “sisanya”: sepasang paha dan kaki indah! Aku mulai memijit tulang keringnya. Singkat saja karena aku ingin cepat-cepat sampai ke atas, ke paha.

Lutut aku lompati, takut kalau ia kesakitan, langsung ke atas lutut, kuremas dengan gemas.

“Iih, geli”. Aku tak peduli, terus meremas. Paha selesai, untuk mencapai paha atas aku ragu-ragu, disingkap atau jangan. Singkap ? Jangan! Ada akal, diurut saja. Mulai dari lutut tanganku mengurut ke atas, menerobos daster sampai pangkal paha.

“Aaaah, Tooo ….” Biar saja. Kulihat wajahnya, matanya terpejam. Aku makin bebas.

Dengan sendirinya tepi daster itu terangkat karena terdorong tanganku. Samar-samar ada bayangan hitam di celana dalam tipis itu. Jelas rambut-rambut itu. Ke bawah lagi, urut lagi ke atas. Aaah lagi. Dengan cara begini, sah-sah saja kalau jempol tanganku menyentuh selangkangannya. Sepertinya basah di sana. Ah masak. Coba ulangi lagi untuk meyakinkan. Urut lagi. Ya, betul, basah! Kenapa basah ? Ngompol ? Aku tidak mengerti.

“To …” panggilnya tiba-tiba. Aku memandangnya, kedua tanganku berhenti di pangkal pahanya. Matanya sayu menantang mataku, nafasnya memburu, dadanya naik-turun.

“Ya, Tante” mendadak suaraku serak. Dia tak menyahut, matanya tetap memandangiku, setengah tertutup. Ada apa nih ? Apakah Tante ….. ? Ah, mana mungkin. Kalau Tante terrangsang, mungkin saja, tapi kalau mengajak ? Jangan terlalu berharap, To!

Aku meneruskan pekerjaanku. Kini tak memijit lagi, tapi menelusuri lengkungan pinggulnya yang indah itu, membelai. Habis tak tahan.

“Uuuuh” desahnya lagi menanggapi kenakalanku. Keterlaluan aku sekarang, kedua tanganku ada di balik dasternya, mengelus mengikuti lengkungan samping pinggul.

“Too …. ” panggilnya lagi. Kulepas tanganku, kudekati wajahnya dengan merangkak di atas tubuhnya bertumpu pada kedua lutut dan telapak tanganku, tidak menindihnya.

“Ada apa, Tante” panggilku mesra. Mukaku sudah dekat dengan wajahnya.

Matanya kemudian terpejam, mulut setengah terbuka. Ini sih ajakan. Aku nekat, sudah kepalang, kucium bibir Tante perlahan.

“Ehhmmmm” Tante tidak menolak, bahkan menyambut ciumanku. Tangan kirinya memeluk punggungku dan tangan kanannya di belakang kepalaku. Nafasnya terdengar memburu. Aku tidak lagi bertumpu pada lututku, tubuhku menindih tubuhnya. Menekan. Ia membuka kakinya. Aku menggeser tubuhku sehingga tepat di antara pahanya yang baru saja ia buka. Kelaminku yang keras tepat menindih selangkangannya. Kutekan. Nikmatnya!

“Ehhhmmmmmm” reaksinya atas aksiku.

Kami saling bermain lidah. Sedapnya!

Aku terengah-engah.

Dia tersengal-sengal.

Tangan kananku meremas dada kirinya. Besar, padat, dan kenyal! Ooooohhhh, aku melayang.

He!, ini Tantemu, isteri Oommu!

Iya, benar. Memangnya kenapa.

Mengapa kamu cium, kamu remas dadanya.

Habis enak, dan ia tak menolak.

Dua kancing dasternya telah kulepas, tanganku menyusup ke balik kutangnya.

Selain besar, padat, dan kenyal, ternyata juga halus dan hangat!

Tiba-tiba Tante melepas ciumanku.

“Jangan di sini, To” katanya terputus-putus oleh nafasnya.

Tanpa menjawab aku mengangkat tubuhnya, kubopong ia ke kamarnya. “Uuuuuhhh” lenguhnya lagi.

“Ke kamarmu saja”

Sebelum sampai ke dipanku, Tante minta turun. Berdiri di samping dipan. Aku memeluknya, dia menahan dadaku.

“Kunci dulu pintunya” Okey, beres.

Kulepas seluruh kancingnya, dasternya jatuh ke lantai. Tinggal kutang dan celana dalam. Buah dada itu serasa mau meledak mendesak kutangnya!

Kupeluk lagi dia. Dadanya merapat di dadaku.

“Tooo, hhehhhhhhh” katanya gemas seperti menahan sesuatu.

Kami berciuman lagi. Main lidah lagi.

Tangannya menyusup ke celanaku, meremas-remas kelaminku di balik celana.

“Eehhmmmmmm” dengusnya

Dengan kesulitan ia membuka ikat pinggangku, membuka resleting celanaku, merogoh celana dalamku, dan mengeluarkan “isinya”

“Eehhh” Ia melepas ciuman, melihat ke bawah.

“Ada apa Tante” Tanyaku disela-sela dengus nafasku.

“Besar sekali”

Ia mempermainkan penisku. Menggenggam, meremas.

Geli, geliii sekali.

Stop Tante, jangan sampai keluar. Aku ingin pengalaman baru, Tante. Ingin memasuki kelaminmu..sekarang!

Kutarik tangannya dari penisku. Untung Tante menurut. Aku tak jadi “keluar”

Kulepas tali kutangnya, tapi yang belakang susah dilepas. Tante membantu. Buah dada itu terbuka. Wow.luar biasa indahnya. Belum sempat aku menikmat buah itu, Tante memelukku. Meraih tangan kananku, dituntunnya menyelip ke celana dalamnya. Dibawah rambut-rambut itu terasa basah. Diajarinya aku bagaimana jariku harus bermain di sana : menggesek-gesek antara benjolan dan pintu basah itu.

“Uuuuuuhhhhhh, Tooo..”

Dilepasnya bajuku, singletku, celanaku luar dalam. Aku telanjang bulat. Kutarik juga celana dalamnya. Ia telanjang bulat juga. Luar biasa. Pinggang itu ramping, perut itu rata, ke bawah melebar lengkungannya indah. Rambut-rambut halus itu menggemaskan, diapit oleh sepasang paha yang nyaris bulat. Seluruhnya dibalut kulit yang putih dan mulusnya bukan main!.

Ditariknya aku ke dipan. Ia merebahkan diri. Kakinya ditekuk lalu dibuka lebar. Dipegangnya kelaminku, ditariknya, ditempelkannya di selangkangan. Rasanya terlalu ke bawah. Ah, dia ‘kan yang lebih tahu. Aku nurut saja. Tangannya pindah ke pantatku. Ditariknya aku mendekat tubuhnya. Sesuatu yang hangat terasa di ujung penisku.

Tangannya memegang penisku lagi. Belum masuk ternyata. Disapu-sapukannya kepala penisku di pintu itu. Sementara ia menggoyang pantatnya. Geliii, Tante. Aku manut saja seperti kerbau dicucuk hidung. Memang belum pengalaman! Didorongnya lagi pantatku. Meleset!

Pernah kupikir waktu pertama kali aku melihat kelamin Tante beberapa hari lalu, mana cukup lubang sesempit itu menampung kelaminku yang lagi tegang ?

Tante membuka pahanya lebih lebar lagi, mengarahkan penisku lagi, dan aku sekarang yang mendorong. Kepalanya sudah separoh tenggelam, tapi macet!

“Kelaminmu besar, sih!”keluhnya. Padahal barusan ia mengaguminya.

Ia menggoyang pantatnya dan…bless. Masuk separoh.

“Aaaaahhh” teriak kami berbarengan. Terasa ada sesuatu yang menjepit penisku, hangat, enak!

Pantatnya bergoyang lagi, tumitnya mendorong pantatku.

Blesss..masuk lagi. Makin hangat, makin sedap, dan geli.

Goyang lagi, aku dorong sekarang. Masuk semuanya

Seedaaaaaaaaap!

Tante bergoyang.

Nikmaaaaaaaat!

Tante menjepit.

Geliiiiiiiiiiiiiiii!

Kutarik pelan. Terasa gesekan, enak. Ya, digesek begini enak. Tarik sedikit lagi, dan kudorong lagi.

“Idiiiiiiiiiiih, sedaaaaapp Too” Tante berteriak, agak keras.

Geli di ujung sana. Tariik, dorooong

Makin geli..

Geli sekali…

Tak tahaaaaaann…

“Tahan dulu, To”

Tak mungkin, sudah geli sekali.lalu..

Aku melambung, melayang, melepas..

“Aaaaaahhhhhhh” teriakku. Nikmatnya sampai ke ubun-ubun.

Mengejang, melepas lagi, berdenyut, enak, melepas lagi, nikmat sekali..!

“Genjot lagi, To” teriaknya

Mana bisa.

“Ayo, To”

Aku sudah selesai!

Tante masih menggoyang

Aku ikut saja, pasif

“Tooooo, ..”

Tante gelisah, goyangnya tak kubalas. Aku sudah selesai!

“Eeeeeeeeehh” keluhnya, sepertinya kecewa.

Bergerak-gerak tak karuan, menendang, menggeliat, gelisah..

Penisku mulai menurun, di dalam sana.

Tante berangsur diam, lalu sama sekali diam, kecewa.

Tinggal aku yang bingung.

Beberapa menit yang lalu aku mengalami peristiwa yang luar biasa, yang baru kali ini aku melakukan. Baru kali ini pula aku merasakan kenikmatan yang luar biasa. Kenikmatan berhubungan kelamin.

Nikmatnya susah digambarkan.

Hubungan kelamin antara pria yang mulai menginjak dewasa dengan wanita dewasa muda.

Sama-sama diinginkan oleh keduanya.

Keduanya yang memulai.

Berdua pula yang melanjutkan, keterusan dan…kepuasan.

Kepuasan ? Aku memang puas sekali, tapi Tante ?

Itulah masalahnya sekarang.

Aku menangkap wajah kecewa pada Tante.

Perilakunya yang gelisah juga menandakan itu.

Aku jadi merasa bersalah. Aku egois.

Aku mendapatkan kenikmatan luar biasa sementara aku tak mampu memberi kepuasan kepada “lawan mainku”, Tante Yani.

Terlihat tadi, ia ingin terus sementara aku sudah selesai.

Aku bingung bagaimana mengatasi kebisuan ini.

Aku masih menindih tubuhnya. Penisku masih di dalam.

Buah dadanya masih terasa kencang mengganjal dadaku.

Pandangannya lurus ke atas melihat plafon.

Aku harus ambil inisiatif.

Kucium pipinya mesra, penuh perasaan.

“Maafkan saya, Tante”

Tante menoleh, tersenyum dan balas mencium pipiku.

Sementara aku agak lega, Tante tak marah.

“Kamu engga perlu minta maaf, To”

“Harus Tante, saya tadi nikmat sekali, sebaliknya Tante belum merasakan. Saya engga mampu, Tante. Saya belum pengalaman Tante. Baru kali ini saya melakukan itu”

“Betul ? Baru pertama kamu melakukan ?”

“Sungguh Tante”

“Engga apa-apa, To. Tante bisa mengerti. Kamu bukannya tidak mampu. Hanya karena belum biasa saja. Syukurlah kalau kamu tadi bisa menikmati”

“Nikmaaat sekali, Tante”

Tante diam lagi, mengelus-elus punggungku. Nyaman sekali aku seperti ini.

“To ” panggilnya.

“Ya, Tante”

“Ini rahasia kita berdua saja ya ? Tante minta kamu jangan katakan hal ini pada siapapun”

“Tentu Tante, tadinya sayapun mau bilang begitu” Tiba-tiba aku ingat sesuatu. Mendadak aku jadi cemas.

“Tante ”

“Hhmm”

“Gimana kalau Tante nanti ..” Aku tak berani meneruskan.

“Nanti apa ?”

“Akibat perbuatan tadi, lalu Tante ..”

“Hamil ?” potongnya.

“Ya ”

“Engga usah kamu pikirkan. Tante sudah jaga-jaga”

“Saya engga mengerti Tante”

“To, lain kali saja ya Tante jelasin. Sekarang Tante harus mandi, Oommu ‘kan sebentar lagi datang”

Ah, celaka. Sampai lupa waktu. Aku bangkit hendak mencabut.

“Pelan-pelan To” katanya sambil menyeringai, lalu matanya terpejam

“Eeeeeehhh” desahnya hampir tak terdengar, ketika aku mencabut kelaminku.

Kubantu ia mengenakan kutangnya. Buah dada itu belum sempat aku nikmati. Lain kali pasti!

“Tante ” aku memanggil ketika ia sudah rapi kembali.

Kupeluk ia erat sekali, kubisikkan di dekat kupingnya

“Terima kasih, Tante” lalu kucium pipinya.

“Ya ” jawabnya singkat.

Bersambung . . . . ..

Pesta seks dengan 3 Gadis Dusun - 1


Cenit bersandar di dinding, gadis itu duduk sambil memeluk kedua lututnya. Setengah busana atasnya masih rapi tapi seluruh rok dan celananya sudah terbuka. Menampakkan kedua paha yang putih mulus dan montok. Sementara tumpukan daging putih kemerahan menyembul di sela rambut-rambut hitam yang nampak baru dicukur.

Sedikit tengadah dan dengan tatapan mata sendu ia berujar lirih…

“Masukkanlah, Kak! Aku juga ingin menikmatinya….”

Aku hanya terdiam.. kami sama-sama sudah membuka busana bagian bawah, beberapa menit kemudian kami bergelut di pojok ruangan itu. Dengan penuh nafsu ku tekankan tubuhku ke tubuh gadis itu. Ia membalas dengan merengkuh leherku dan menciuminya penuh nafsu. Baca kelanjutan cerita seru pesta seks dengan 3 gadis dusun hanya di RumahSeks. Tubuhnya terasa panas dan membara oleh gairah, bertubi-tubi kuciumi leher, pundak dan buah dadanya yang kenyal dan besar itu. Ia hanya melenguh-lenguh melepas nafasnya yang menderu. Setiap remasan dan kuluman… diiringi dengan erangan penuh kenikmatan.

Tanpa kusuruh ia membuka sebagian kancing bajunya. Menampakkan onggokan buah dada yang membulat dan putih. Tanpa membuka tali beha ia mengeluarkan buah dadanya itu dan mengasongkannya ke mulutku.

Dengan rakus kukulum buah dada besar Cenit sepenuh mulutku. Ia mengerang antara sakit dan enak. Nafasku pum semakin tersendat, hidungku beberapa kali terbenam ke bulatan kenyal dan hangat itu.

Puncak dadanya basah oleh air liurku yang meluap karena nafsu. Licin dan agak susah meraih puting susunya yang mungil kemerahan itu. Jelas sekali kulihat proses peregangannya. Semula puting susu itu terbenam, namun dalam sekejap saja dia keluar menonjol dan mengeras.

Cenit tahu susah mengulumnya tanpa memegang karena aku mencengkram erat leher dan pinggang gadis itu. Tanpa menunggu waktu ia memegangi buah dadanya dan mengarahkan putingnya ke mulutku.

Aku pun mengulumnya seperti bayi yang kehausan. Mengulum dan menyedot sampai terdengar berbunyi mendecap-decap. Kulihat gadis itu, dalam sayu matanya merasakan kenikmatan, bibirnya tersungging senyuman dan tawa kecil. ‘Gigit sedikit, Kak.’ pintanya padaku.

Aku menuruti kemauannya, dengan gigiku kugigit sedikit puting susunya. ‘Aih….’ Jeritnya lirih sambil menggigit bibir. Barangkali ia tengah merasakan sensasi rangsangan nikmat luar biasa di bagian itu. Kurasakan tubuhnya melunglai menahan nikmat.

Kemudian tubuh kami saling mendekap semakin rapat. Gairah dan rangsangan nikmat menjalar dan memompa alirah darah semakin kencang. Secara naluriah aku menyelusuri tubuh sintal Cenit.

Mulai dari leher, terus ke punggung, meremas daging hangat di pinggul… terus ke bagian bawah. Akhirnya menyelip di antara paha. Gadis itu membuka pahanya sedikit, mengizinkan tanganku menggerayangi daerah itu.

Dalam pelukan erat, tanganku mencoba masuk… ehm.. bagian itu terasa hangat dan basah. Cenit menggeser pantatnya sedikit. Kedua matanya memejam sembari menggigit bibir , desah-desah halus keluar tak tertahankan. Detak jantungku semakin kencang ketika kubayangkakn apa yang terjadi di’sana’.

Gadisku menggelinjang, nafasnya sesekali tertahan, sesekali ia seperti menerawang, apa yang dia harapkan? Aku tahu, dia menginginkan itu, dia mendorong-dorongkan pantatnya ke depan, agar bagian itu lebih tersentuh oleh jemariku. Dengan penuh pengertian aku pun turun… dari leher… buah dada.. wajahku terseret ke bawah, menikmati setiap lekuk liku tubuhnya yang hangat. Setiap sentuhan dan gesekan menimbulkan rintihan lirih dari mulutnya. Wajahnya menengadah, matanya setengah terpejam, bibir agak terbuka, dan sedikit air liur menetes dari salah satu sudutnya.

“Teruskan, kak… jangan hentikan..!” pintanya. “Puaskan aku….?” katanya lagi tanpa rasa sungkan. Yah, tak ada rahasia di antara kami. Apa yang dia inginkan untuk memuaskan hasratnya, pasti dia minta, kapan saja kami bertemu. Begitu pula aku… kalau lagi pingin, dia pasti kasih.

Perlahan aku menyusuri tubuhnya ke bagian bawah. Sekarang aku sudah di atas perutnya yang mulus. Aku bermain-main sebentar di sana. seluruh tubuh Cenit memang sangat menggairahkan. Tidak ada lekuk tubuhnya yang tidak indah. Aku sangat menikmati semuanya.

Tiba-tiba Cenit memegang kepalaku, meremas sedikit rambutku dan mendorong kepalaku ke bawah. “Ayo, Kak, udah gak tahan nih..! Jangan di situ aja dong….Aih..” Aku menurut…. Dulu aku bilang aku ingin merasakan dan menjilati kemaluannya, dia bilang hal itu menjijikkan. Dalam keadaan terangsang dia sangat menginginkanya. Sesampai di bagian itu… aku terpana menyaksikan pemandangan indah terbentang tepat di depan mataku. Setumpuk daging berwarna kemerahan berkilat di celah-celahnya …

Bagian itu, bibir kemaluan Cenit yang merah dan basah dipenuhi cecairan lendir yang bening. Dengan kedua jari telunjuk ku buka celah itu lebih lebar… Klentitnya menyembul… nampak berkedut karena rangsangan nikmat tidak terkira.

Berkali-kali ia berkedut… setiap denyutan dibarengi dengan nafas dan rintih tertahan gadis itu. Aku memandang ke atas. Ke arah payudaranya yang terbuka, putingnya semakin mengeras. Nafasnya terengah-engah, buah dada Cenit yang putih itu nampak naik turun dengan cepat. Kulihat lagi kemaluan gadisku itu… semakin merah dan merekah. Kubuka lagi dengan dua telunjukku… cairahn kental pun mengalir deras. Meluap dan merembes sampai ke sela paha, persis seperti orang yang sedang ngiler. Cairan itu terus mengalir perlahan… sampai ke arah anus. Kemudian perlahan berkumpul dan akhirnya menitik ke lantai. Semakin lama semakin banyak titik-titik lendir bening yang jatuh di lantai kamar itu.

Terasa ia merenggut rambutku… dan menekankan kepalaku ke arah vaginanya yang sedang terangsang itu. Aku pun semakin bernafsu…. Dengan penuh semangat aku pun mulai mengulum dan menjilati seluruh sudut kemaluan Cenit…

“Ahh…. Ahhhh… nikmat sekali, Kak!” Cenit merintih, tubuhnya menegang, cengkramannya di kepalaku semakin kuat. Pahanya mengempot menekan ke arah mukaku, sementara kemaluannya semakin merah dan penuh dengan lendir yang sangat licin.

Aku pun semakin dalam menusuk-nusukkan lidahku ke liang senggamanya. Beberapa kali klentitnya tersentuh oleh ujung gigiku, setiap sentuhan memberi pengaruh yang hebat. Gadis itu melolong menahan nikmat… aku terus menyelusuri bagian terdalam vaginanya. Oh… hangat dan sangat-sangat basah. Tak bisa kubayangkan kenikmatan apa yang dirasakannya saat ini. barangkali sama nikmatnya dengan rangsangan yang kuperoleh dari kemaluanku yang juga sudah mengeras sedari tadi.

Rasanya sangat nikmat dan tergelitik terutama di bagian pangkal… rasanya ingin aku melepaskan nikmat di saat itu juga. Tapi aku harus menyelesaikan permainan awal ini dulu, gadis ini minta untuk segera di tuntaskan.

Semakin aku memainkan kemaluannya, semakin ia mengempot dan menekankan kepalaku ke arahnya. Sesekali aku menengadah menatap wajahnya yang merah. Tampak ia menghapus air liurnya yang mengucur dengan lidahnya yang merah itu. Tiba-tiba ia tertawa mengikik… seperti ada yang lucu. Ia mengusap wajahku yang bergelimang cairan vaginanya. Sambil memandangku penuh pengertian. “Lagi, Kak” pintanya.

Aku mengulangi lagi kegiatan itu, ia pun kembali merintih-rintih menahan rangsangan hebat itu di kemaluannya. Beberapa kali klentit itu kusentuh dengan ujung gigi…. Tiba saatnya, dia sudah sampai mendekati puncak. Nafas semakin memburu dan tubuhnya menegang hebat beberapa kali. Tanpa sungkan lagi, ia mengeluarkan lolongan penuh kenikmatan ketika rasa enak itu tiba…

“Ohhhhh… hhhh…ahhhhhhhh…” jeritnya lepas. “Enak sekali…”

Pantatnya mengempot ke depan setiap denyutan nikmat itu menyergap vaginanya… dan setiap denyutan diiringi dengan keluarnya cairan yang lebih banyak lagi. Beberapa cairan itu bagaikan menyembur dari liang senggamanya, aku mundur sebentar, melihat bagaimana bentuknya vagina yang sedang mengalami orgasme. Tegang, merah, basah… berkedut-kedut, cairan pun membanjir sampai ke kedua pahanya….. mengalir dengan banyaknya sampai ke mata kaki… Aku pun tidak tahan melihat keadaan itu, cepat aku berdiri… mengasongkan kemaluanku yang sudah tegang itu ke arahnya.

Ia memelukku, terasa tubuhnya bersimbah peluh, wajahnya yang memerah karena baru melepas nikmat itu disusupkannya ke leherku. Memelukku semakin kuat…

“Puaskanlah dirimu, Kak!”

Aku pun mendekap tubuh sintal itu semakin erat. Rasa nikmat berkecamuk di titik kemaluanku. Terasa semakin menegang dan mengeras…. Tapi aku ingin merasakan sensasi yang lain.

Kuturunkan kepala gadis itu ke bagian itu. Ia menurut, perlahan ia menyusuri tubuhku dari dada terus turun ke bawah. Seperti yang kulakukan tadi, mulutnya menciumi perutku dan terus turun… sesampai di bagian itu ia memandangi penis yang selama ini selalu dia senangi.

Ia menengadah.. memandangku dengan senyuman nakal…. “Besar sekali punyamu, Kak! Ini untukku untuk selamanya,” katanya sambil mengelus dan mulai meremas pangkalnya. Aku terkesiap… jemari lembut itu mulai mengocok-ngocok kemaluanku dengan penuh cinta.

“Nikmatilah, Kak! Aku ingin kamu menikmati dan merasakan kenikmatan seperti yang aku rasakan, kamu milikku, tidak boleh untuk orang lain….” Aku mengangguk sambil tersenyum, perempuan kalau sudah cinta dan ingin pasti mau melakukan apa saja. Perlahan ia mulai mengocok pengkal kemaluanku… sesekali ia mengecup bagian kepalanya yang seperti topi baja itu. Lembut dan penuh kasih sayang. Beberapa kali pula ia menempelkannya di pipi sambil matanya terpejam.

“Ohh.. inilah yang aku impikan selama ini. Kepunyaanku milik kekasihku yang perkasa…”

Kemudian ia meningkatkan kocokannya, kedua jemari tangan menggenggam dan meremas-remas menimbulkan rasa geli luar biasa. Kemaluanku semakin menegang menahan nikmat.. keras dan enak.

Gadis itu sangat lihai mempermainkan jemarinya, seolah dia turut merasakan apa yang kurasakan. Sambil terus jongkok dan menciumi pangkal kemaluanku jemarinya terus juga digesekkannya.

Akhirny aku pun tak tahan lagi… aku merenggut rambut di kepalanya, tubuhku pun menegang. Aku mendorong pantatku ke depan, pahaku mengejang menahan sesuatu yang bakal kukeluarkan.

“Cenit…” kataku sambil mencengkram rambutnya. Ia menatapku, wajahnya tepat di ujung kemaluanku yang sedang dicengkeramnya. Gadis itu tersenyum kecil…. Dia senang menatapku yang sedang dalam puncak nikmat.

Maka, sambil setengah terpejam, aku pun mengeluarkan segalanya, kemaluanku meledak dalam genggaman tangan Cenit, menyemburkan air manikyang sangat banyak, mengenai seluruh muka gadis itu. Sebagian ada yang menyembur dan kena ke rambutnya. Kelopak mata gadis itu berkedip menahan serangan air mani yang mendarat di wajahnya…

“Hhhh…hhhh.hh,” perlahan nafasku mulai teratur… puncak itu sudah sampai, nikmat tak terlukiskan kata-kata.

Cenit bangkit berdiri dan menuju pojok ruangan. Paha dan pantat mulusnya nampak gemulai ketika ia melangkah. Gadis itu mengambil baju, mengusapkannya di wajah yang penuh cairan mani. Menoleh ke arahku sambil tersenyum, kemudian berjalan ke arahku. Merentangkan kedua tangan, memelukku dan menempelkan pipinya di pipiku.

“Enak ya, Kak”

Aku mengangguk, memeluk tubuh yang masih bersimbah peluh itu. Memandang matanya lekat-lekat. Ia membalas tatapanku, “Aku sangat mencintaimu, Kak. Kaulah milikku dan milikilah aku selamanya…”

Entah berapa lama kami berpelukan sambil berdiri.

Ketika angin berdesir melalui kisi-kisi jendela, terasa semuanya sudah mengendur. Jiwa dan raga sudah terpuaskan. Sekarang waktunya merapikan pakaian, duduk mengobrol di ruang tamu. Sebentar lagi teman-teman kost kekasihku akan pulang. Kami akan mengobrol di ruang tamu, bercanda, seperti tidak ada kejadian apa pun sebelumnya.

Tiba-tiba gadis itu berdiri seperti tersentak kaget. Ia memandangku sambil tersenyum kecil. Aku tak mengerti ketika ia menunjuk dengan sudut matanya ke arah lantai. Ha ha ha… hampir lupa, cairan itu masih berserak di lantai. Buru-buru ia pergi ke belakang dan kembali dengan secarik kain. Perlahan dia lap lendir-lendir itu dengan kain tadi.

“Ini punyaku…” katanya sambil menunjuk setitik cairan. “Dan ini punyamu, Kak!” hehe aku tersenyum. “Dari mana kamu membedakan keduanya?” tanyaku sambil mengambil sebatang rokok.

Seraya bangkit dan tertawa… “Punya perempuan dan laki-laki jelas beda. Punyaku lebih bening…”

“Tapi punyaku lebih enak kan?” kataku bercanda.

“Iya dong sayang…. ” katanya seraya menghampiriku dan mengusap wajahku penuh kasih dan sayang. “lain kali kita masukin ya . Kak. Aku ingin lebih menikmatinya..” bisik gadis itu, “Aku ikhlas demi Kakak…” bisiknya lagi di telingaku. Ia melingkarkan tangannya di leherku, aku pun memeluk tubuh sintal dan bermandi peluh itu lebih erat.

Malam belum begitu larut ketika aku dan Liani sedang asyik bercinta di ruang tamu rumah kostnya. Tubuh montok gadis itu terbaring pasrah di atas dipan sederhana yang terletak di salah satu sudut ruangan. Sedari tadi punyaku keluar masuk menyelusuri seluruh lipatan kemaluan gadis itu.

Berkali-kali gadis itu menggeram menahan rasa. Lipatan basah dan hangat itu terasa sesekali menyempit. Dia sungguh menikmatinya gesekan-gesekan itu, aku juga. Yang hebatnya, gadis satu ini sepertinya tidak memerlukan foreplay. Kami langsung melakukannya begitu saja. Cukup dengan tatapan mata, kami sudah tahu apa yang kami inginkan, kepuasan di malam yang basah oleh rintik hujan ini.

Jam delapan malam aku ada janji dengan Cenit kekasihku untuk bertemu di rumah kost khusus putri ini. Padahal malam ini bukan malam minggu seperti biasanya kami bertemu. Tapi dia sms aku minta ketemuan, ada yang penting katanya. Aku paham yang penting itu apa.

Yang aku tidak mengerti ketika aku tiba di rumah kost itu, ternyata dia tidak ada. Liani teman sekost nya yang menyambutku. Dia suruh aku masuk dan ketika kutanyakan kemana Cenit, dia bilang sedang keluar sebentar, ada perlu dan dia pergi dengan Rinay kawan sekampungnya. Dia bilang, kata Liani, suruh tunggu saja nggak akan lama kok. Liani, gadis lain desa yang bertubuh tinggi semampai berkulit putih dan berambut panjang itu menyuruhku duduk.

Tak lama dia pergi ke belakang , mau bikin minum katanya. Aku manut saja seraya mengambil sebatang rokok. Diam-diam kerhatikan tubuh gadis itu dari belakang ketika berlalu. Cukup lumayan, tinggi dan lumayan montok. Apalagi malam ini dia hanya menggunakan sehelai baju tidur sebatas lutut tanpa lengan. Menampakkan gumapalan-gumpalan indah khas gadis desa yang terbiasa bekerja cukup keras.

Tak terasa aku menghela nafas sambil menyaksikan pemandangan tubuh Liani yang gemulai menuju ke ruang belakang yang agak gelap itu. Pantatnya lumayan besar dan berisi, sementara kedua betis tampak putih mulus dengan tumitnya yang kemerahan. Kalau tidak ingat Cenit kekasihku, mungkin gadis ini pun sudah kupacari, tapi katanya dia sudah punya pacar, entah siapa aku belum pernah ketemu dengan lelaki yang katanya jadi pacarnya itu.

Tak lama kemudian gadis itu kembali sambil membawa nampan dengan segelas air putih. “Maaf, Bang, cuma ini yang aku sediakan,” katanya sambil setengah embungkuk meletakkan gelas itu di meja di hadapanku.

Tanpa sadar belahan dada gaun tidur gadis itu agak melorot, menampakkan dua bulatan putih yang mau tidak mau merasuk ke mataku. Kuakui tubuhnya sangat sintal. Walaupun tinggi semampai, tubuh itu tampak padat dan berisi. Buah dadanya tampak menantang tatkala ia berdiri.

Liani mengibas-ngibaskan rambut panjangnya di depanku. Bibirnya tersenyum. “Ada perlu apa, Bang? Kok tumben nggak malam mingguan ke sininya?” tanyanya sambil membenahi rambutnya yang indah itu. Ia menatapku dari sudut matanya.

Gadis yang satu ini memang memanggilku dengan sebutan ‘Bang’, tidak seperti yang lain memanggilku’Kakak’. Aduhai tubuhmu Liani sangat sintal dan lagak lagumu malam ini seperti bukan kepada orang lain saja.

Gadis itu duduk dengan santainya di depanku sembari memegangi nampan di perutnya. Tak ada canggung sedikit pun ketika mengangkat kedua kakinya dan membiarkan gaunnya yang selutut itu tertarik sampai ke batas paha. Aku menelan air liur ku sendiri. Di rumah kost yang sepi ini hanya kami berdua sementara Cenit dan Rinay entah ke mana….

Bersambung . . . . .

Tante Yani - 2


Ah, pikiranku terlalu jauh. Ciuman saja dulu. Aku sependapat dengan Dito, kalau pacaran ciuman dan raba-raba saja. Aku jadi ingin pacaran, tapi siapa yang mau pacaran sama aku yang kuper ini ? Ya dicari dong! Si Rika, Ani atau Yuli ? Siapa sajalah, asal mau jadi pacarku, buat ciuman dan diraba-raba. Sepertinya sedap. Dalam perjalanan pulang aku membayangkan bagaimana seandainya aku pacaran sama Rika. Pahanya yang lumayan mulus enak dielus-elus. Tanganku terus ke atas membuka kancing bajunya, lalu menyelusup dan? sopir Bajaj itu memaki-maki membuyarkan lamunanku. Tanpa sadar aku berjalan terlalu ke tengah. Di balik kutang Rika hanya ada sedikit tonjolan, tak ada ?pegangan?, kurang enak ah. Tiba-tiba Rika berubah jadi Ani. Melamun itu memang enak, bisa kita atur semau kita. Ketika membuka kancing baju Ani aku mulai tegang. Kususupkan empat jariku ke balik kutang Ani. Nah ini, montok, keras walau tak begitu halus. Telapak tanganku tak cukup buat ?menampung? dada Ani. Aku berhenti, menunggu lampu penyeberangan menyala hijau. Sampai di seberang jalan kusambung khayalanku. Ani telah berubah menjadi Yuli.

Anak ini memang manis, apalagi kalau tersenyum, bibirnya indah, setidaknya menurutku. Aku mulai mendekatkan mulutku ke bibir Yuli yang kemudian membuka mulutnya sedikit, persis seperti di film TV kemarin. Kamipun berciuman lama. Kancing baju seragam Yulipun mulai kulepas, dua kancing dari atas saja cukup. Kubayangkan, meski dari luar dada Yuli menonjol biasa, tak kecil dan tak besar, ternyata dadanya besar juga. Kuremas-remas sepuasnya sampai tiba di depan rumah. Aku kembali ke dunia nyata. Masuk melalui pintu garasi seperti biasa, membuka pintu tengah sampai ke ruang keluarga. Juga seperti biasa kalau mendapati Tante sedang membaca majalah sambil rebahan di karpet, atau menyulam, atau sekedar nonton TV di ruang keluarga. Yang tidak biasa adalah, kedua bukit kembar itu. Tante membaca sambil tengkurap menghadap pintu yang sedang kumasuki. Posisi punggungnya tetap tegak dengan bertumpu pada siku tangannya. Mengenakan daster dengan potongan dada rendah, rendah sekali. Inipun tak biasa, atau karena aku jarang memperhatikan bagian atas. Tak ayal lagi, kedua bukit putih itu hampir seluruhnya tampak.

Belahannya jelas, sampai urat-urat lembut agak kehijauan di kedua buah dada itu samar-samar nampak. Aku tak melewatkan kesempatan emas ini. Tante melihat sebentar ke arahku, senyum sekejap, terus membaca lagi. Akupun berjalan amat perlahan sambil mataku tak lepas dari pemandangan amat indah ini? Hampir lengkap aku ?mempelajari? tubuh Tanteku ini. Wajah dan ?komponen?nya mata, alis, hidung, pipi, bibir, semuanya indah yang menghasilkan : cantik. Walaupun dilihat sekejap, apalagi berlama-lama. Paha dan kaki, panjang, semuanya putih, mulus, berbulu halus. Pinggul, meski baru lihat dari bentuknya saja, tak begitu lebar, proporsional, dengan pantat yang menonjol bulat ke belakang. Pinggang, begitu sempit dan perut yang rata. Ini juga hanya dari luar. Dan yang terakhir buah dada. Hanya puting ke bawah saja yang belum aku lihat langsung. Kalau daerah pinggul, bagian depannya saja yang aku belum bisa membayangkan. Memang aku belum pernah membayangkan, apalagi melihat kelamin wanita dewasa. Aku masih penasaran pada yang satu ini. Keesokkan harinya, siang-siang, Dito memberiku sampul warna coklat agak besar, secara sembunyi-sembunyi. “Nih, buat kamu” “Apa nih ?” “Simpan aja dulu, lihatnya di rumah, Hati-hati” Aku makin penasaran. “Lanjutan pelajaranku kemarin. Gambar-gambar asyik” bisiknya. Sampai di rumah aku berniat langsung masuk kamar untuk memeriksa benda pemberian Dito. Tante lagi membaca di karpet, kali ini terlentang, mengenakan daster dengan kancing di tengah membelah badannya dari atas ke bawah. Kancingnya yang terbawah lepas sebuah yang mengakibatkan sebagian pahanya tampak, putih. “Suguhan” yang nikmat sebenarnya, tapi kunikmati hanya sebentar saja, pikiranku sedang tertuju ke sampul coklat. Dengan tak sabaran kubuka sampul itu, sesudah mengunci pintu kamar, tentunya. Wow, gambar wanita bule telanjang bulat! Sepertinya ini lembaran tengah suatu majalah, sebab gambarnya memenuhi dua halaman penuh. Wanita bule berrambut coklat berbaring terlentang di tempat tidur. Segera saja aku mengeras.

Buah dadanya besar bulat, putingnya lagi-lagi menonjol ke atas warna coklat muda. Perutnya halus, dan ini dia, kelaminnya! Sungguh beda jauh dengan apa yang selama ini kuketahui. Aku tak menemukan “segitiga terbalik” itu. Di bawah perut itu ada rambut-rambut halus keriting. Ke bawah lagi, lho apa ini ? Sebelah kaki cewe itu dilipat sehingga lututnya ke atas dan sebelahnya lagi menjuntai di pinggir ranjang memperlihatkan selangkangannya. Inilah rupanya lubang itu. Bentuknya begitu “rumit”. Ada daging berlipat di kanan kirinya, ada tonjolan kecil di ujung atasnya, lubangnya di tengah terbuka sedikit. Mungkin di sinilah tempat masuknya kelamin lelaki. Tapi, mana cukup ? Oo, seperti inilah rupanya wujud kelamin wanita dewasa. Tiba-tiba pikiran nakalku kambuh : begini jugakah punya Tante? Pertanyaan yang jelas-jelas tak mungkin mendapatkan jawaban! Bagaimana dengan punya Rika, Ani, atau Yuli? Sama susahnya untuk mendapatkan jawaban. Lupakan saja. Tunggu dulu, barangkali Si Mar pembantu itu bisa memberikan “jawaban”. Orangnya penurut, paling tidak dia selalu patuh pada perintah majikannya, termasuk aku. Bahkan dulu itu tanpa aku minta membantuku beres-beres kamarku, dengan senang pula.

Orangnya lincah dan ramah. Tidak terlalu jelek, tapi bersih. Kalau sudah dandan sore hari ngobrol dengan pembantu sebelah, orang tak menyangka kalau ia pembantu. Dulu waktu pertama kali ketemupun aku tak mengira bahwa ia pembantu. Setiap pagi ia menyapu dan mengepel seluruh lantai, termasuk lantai kamarku. Kadang-kadang aku sempat memperhatikan pahanya yang tersingkap sewaktu ngepel, bersih juga. Yang jelas ia periang dan sedikit genit. Tapi masa kusuruh ia membuka celana dalamnya “Coba Mar aku pengin lihat punyamu, sama engga dengan yang di majalah” Gila!. Jangan langsung begitu, pacari saja dulu. Ah, pacaran kok sama pembantu. Apa salahnya? dari pada tidak pacaran sama sekali. Okey, tapi bagaimana ya cara memulainya ? Ah, dasar kuper! Aku jadi lebih memperhatikan Si Mar. Mungkin ia setahun atau dua tahun lebih tua dariku, sekitar 18 lah. Wajahnya biasa-biasa saja, bersih dan selalu cerah, kulit agak kuning, dadanya tak begitu besar, tapi sudah berbentuk. Paha dan kaki bersih. Mulai hari ini aku bertekat untuk mulai menggoda Si Mar, tapi harus hati-hati, jangan sampai ketahuan oleh siapapun.

Seperti hari-hari lainnya ia membersihkan kamarku ketika aku sedang sarapan. Pagi ini aku sengaja menunda makan pagiku menunggu Si Mar. Tante masih ada di kamarnya. Si Mar masuk tapi mau keluar lagi ketika melihat aku ada di dalam kamar. “Masuk aja mbak, engga apa-apa” kataku sambil pura-pura sibuk membenahi buku-buku sekolah. Masuklah dia dan mulai bersih-bersih. Tanganku terus sibuk berbenah sementara mataku melihatnya terus. Sepasang pahanya nampak, sudah biasa sih lihat pahanya, tapi kali ini lain. Sebab aku membayangkan apa yang ada di ujung atas paha itu. Aku mengeras. Sekilas tampak belahan dadanya waktu ia membungkuk-bungkuk mengikuti irama ngepel. Tiba-tiba ia melihatku, mungkin merasa aku perhatikan terus. “Kenapa, Mas” Kaget aku. “Ah, engga. Apa mbak engga cape tiap hari ngepel” “Mula-mula sih capek, lama-lama biasa, memang udah kerjaannya” jawabnya cerah. “Udah berapa lama mbak kerja di sini ?” “Udah dari kecil saya di sini, udah 5 tahun” “Betah ?” “Betah dong, Ibu baik sekali, engga pernah marah.

Mas dari mana sih asalnya ?”Tanyanya tiba-tiba. Kujelaskan asal-usulku. “Oo, engga jauh dong dari desaku. Saya dari Cilacap” Pekerjaannya selesai. Ketika hendak keluar kamar aku mengucapkan terima kasih. “Tumben.” Katanya sambil tertawa kecil. Ya, tumben biasanya aku tak bilang apa-apa. *** “Mana, yang kemarin ?” Dito meminta gambar cewe itu. “Lho, katanya buat aku” “Jangan dong, itu aku koleksi. Kembaliin dulu entar aku pinjamin yang lain, lebih serem!” “Besok deh, kubawa” Sampai di rumah Si Luki sedang main-main di taman sama pengasuhnya. Sebentar aku ikut bermain dengan anak Oomku itu. Tinah sedikit lebih putih dibanding Si Mar, tapi jangan dibandingkan dengan Tante, jauh. Orangnya pendiam, kurang menarik. Dadanya biasa saja, pinggulnya yang besar. Tapi aku tak menolak seandainya ia mau memperlihatkan miliknya. Pokoknya milik siapa saja deh, Rika, Ani, Yuli, Mar, atau Tinah asal itu kelamin wanita dewasa. Penasaran aku pada “barang” yang satu itu. Apalagi milik Tante, benar-benar suatu karunia kalau aku “berhasil” melihatnya! Di dalam ada Si Mar yang sedang nonton telenovela buatan Brazil itu. Aku kurang suka, walaupun pemainnya cantik-cantik. Ceritanya berbelit. Duduk di karpet sembarangan, lagi-lagi pahanya nampak. Rasanya si Mar ini makin menarik. “Mau makan sekarang, Mas ?” “Entar aja lah” “Nanti bilang, ya. Biar saya siapin” “Tante mana mbak?” “Kan senam” Oh ya, ini hari Rabu, jadwal senamnya. Seminggu Tante senam tiga kali, Senin, Rabu dan Jumat. Ketika aku selesai ganti pakaian, aku ke ruang keluarga, maksudku mau mengamati Si Mar lebih jelas. Tapi Si Mar cepat-cepat ke dapur menyiapkan makan siangku. Biar sajalah, toh masih banyak kesempatan. Kenapa tidak ke dapur saja pura-pura bantu ? Akupun ke dapur. “Masak apa hari ini ?” Aku berbasa-basi. “Ada ayam panggang, oseng-oseng tahu, sayur lodeh, pilih aja” “Aku mau semua” Candaku. Dia tertawa renyah. Lumayan buat kata pembukaan. “Sini aku bantu” “Ah, engga usah” Tapi ia tak melarang ketika aku membantunya. Ih, pantatnya menonjol ke belakang walau pinggulnya tak besar.

Aku ngaceng. Kudekati dia. Ingin rasanya meremas pantat itu. Beberapa kali kusengaja menyentuh badannya, seolah-olah tak sengaja. ‘Kan lagi membantu dia. Dapat juga kesempatan tanganku menyentuh pantatnya, kayaknya sih padat, aku tak yakin, cuma nyenggol sih. Mar tak berreaksi. Akhirnya aku tak tahan, kuremas pantatnya. Kaget ia menolehku. “Iih, Mas To genit, ah” katanya, tapi tidak memprotes. “Habis, badanmu bagus sih”. Sekarang aku yakin, pantatnya memang padat. “Ah, biasa saja kok” Akupun berlanjut, kutempelkan badan depanku ke pantatnya. Barangku yang sudah mengeras terasa menghimpit pantatnya yang padat, walaupun terlapisi sekian lembar kain. Aku yakin iapun merasakan kerasnya punyaku. Berlanjut lagi, kedua tanganku kedepan ingin memeluk perutnya. Tapi ditepisnya tanganku. “Ih, nakal. Udah ah, makan dulu sana!” “Iya deh makan dulu, habis makan terus gimana ?” “Yeee!” sahutnya mencibir tapi tak marah. Tangannya berberes lagi setelah tadi berhenti sejenak kuganggu. Walaupun penasaran karena aksiku terpotong, tapi aku mendapat sinyal bahwa Si Mar tak menolak kuganggu. Hanya tingkat mau-nya sampai seberapa jauh, harus kubuktikan dengan aksi-aksi selanjutnya! Kembali aku menunda sarapanku untuk “aksi selanjutnya” yang telah kukhayalkan tadi malam. Ketika ia sedang menyapu di kamarku, kupeluk ia dari belakang. Sapunya jatuh, sejenak ia tak berreaksi. Amboi ..dadanya berisi juga! Jelas aku merasakannya di tanganku, bulat-bulat padat. Kemudian Si Marpun meronta. “Ah, Mas, jangan!” protesnya pelan sambil melirik ke pintu. Aku melepaskannya, khawatir kalau ia berteriak. Sabar dulu, masih banyak kesempatan. “Terima kasih” kataku waktu ia melangkah keluar kamar. Ia hanya mencibir memoncongkan mulutnya lucu. Mukanya tetap cerah, tak marah. Sekarang aku selangkah lebih maju! *** Aku ingat janjiku hari ini untuk mengembalikan foto porno milik Dito. Tapi di mana foto itu ? Jangan-jangan ada yang mengambilnya. Aku yakin betul kemarin aku selipkan di antara buku Fisika dan Stereometri (kedua buku itu memang lebar, bisa menutupi).

Nah ini dia ada di dalam buku Gambar. Pasti ada seseorang yang memindahkannya. Logikanya, sebelum orang itu memindahkan, tentu ia sempat melihatnya. Tiba-tiba aku cemas. Siapa ya ? Si Mar, Tinah, atau Tante ? Atau lebih buruk lagi, Oom Ton ? Aku jadi memikirkannya. Siapapun orang rumah yang melihat foto itu, membuatku malu sekali! Yang penting, aku harus kembalikan ke Dito sekarang. Siangnya pulang sekolah ketika aku masuk ke ruang keluarga, Si Mar sedang memijit punggung Tante. Tante tengkurap di karpet, Si Mar menaiki pantat Tante. Punggung Tante itu terbuka 100 %, tak ada tali kutang di sana. Putihnya mak..! Si Mar cepat-cepat menutup punggung itu ketika tahu mataku menjelajah ke sana, sambil melihatku dengan senyum penuh arti. Sialan! Si Mar tahu persis kenakalanku. Aku masuk kamar. Hilang kesempatan menikmati punggung putih itu. Tadi pagi aku lupa membawa buku Gambar gara-gara mengurus foto si Dito. Aku berniat mempersiapkan dari sekarang sambil berusaha melupakan punggung putih itu. Sesuatu jatuh bertebaran ke lantai ketika aku mengambil buku Gambar. Seketika dadaku berdebar kencang setelah tahu apa yang jatuh tadi. Lepasan dari majalah asing. Di tiap pojok bawahnya tertulis “Hustler” edisi tahun lalu. Satu serial foto sepasang bule yang sedang berhubungan kelamin! Ada tiga gambar, gambar pertama Si Cewe terlentang di ranjang membuka kakinya sementara Si Cowo berdiri di atas lututnya memegang alatnya yang tegang besar (mirip punyaku kalau lagi tegang cuma beda warna, punyaku gelap) menempelkan kepala penisnya ke kelamin Cewenya. Menurutku, dia menempelnya kok agak ke bawah, di bawah “segitiga terbalik” yang penuh ditumbuhi rambut halus pirang. Gambar kedua, posisi Si Cewe masih sama hanya kedua tangannya memegang bahu si Cowo yang kini condong ke depan. Nampak jelas separoh batangnya kini terbenam di selangkangan Si Cewe. Lho, kok di situ masuknya ? Kuperhatikan lebih saksama. Kayaknya dia “masuk” dengan benar, karena di samping jalan masuk tadi ada “yang berlipat-lipat”, persis gambar milik Dito kemarin.

Menurut bayanganku selama ini, “seharusnya” masuknya penis agak lebih ke atas. Baru tahu aku, khayalanku selama ini ternyata salah! Gambar ketiga, kedua kaki Si Cewe diangkat mengikat punggung Si Cowo. Badan mereka lengket berimpit dan tentu saja alat Si Cowo sudah seluruhnya tenggelam di “tempat yang layak” kecuali sepasang “telornya” saja menunggu di luar. Mulut lelaki itu menggigit leher wanitanya, sementara telapak tangannya menekan buah dada, ibujari dan telunjuk menjepit putting susunya. Gemetaran aku mengamati gambar-gambar ini bergantian. Tanpa sadar aku membuka resleting celanaku mengeluarkan milikku yang dari tadi telah tegang. Kubayangkan punyaku ini separoh tenggelam di tempat si Mar persis gambar kedua. Kenyataanya memang sekarang sudah separoh terbenam, tapi di dalam tangan kiriku. Akupun meniru gambar ketiga, tenggelam seluruhnya, gambar kedua, setengah, ketiga, seluruhnya..geli-geli nikmat… terus kugosok… makin geli.. gosok lagi.. semakin geli… dan.. aku terbang di awan.. aku melepas sesuatu… hah.. cairan itu menyebar ke sprei bahkan sampai bantal, putih, kental, lengket-lengket. Enak, sedap seperti waktu mimpi basah. Sadar aku sekarang ada di kasur lagi, beberapa detik yang lalu aku masih melayang-layang.

He! Kenapa aku ini? Apa yang kulakukan ? Aku panik. Berbenah. Lap sini lap sana. Kacau! Kurapikan lagi celanaku, sementara si Dia masih tegang dan berdenyut, masih ada yang menetes. Aku menyesal, ada rasa bersalah, rasa berdosa atas apa yang baru saja kulakukan. Aku tercenung. Gambar-gambar sialan itu yang menyebabkan aku begini. Masturbasi. Istilah aneh itu baru aku ketahui dari temanku beberapa hari sesudahnya. Si Dito menyebutnya ‘ngeloco’. Aneh. Ada sesuatu yang lain kurasakan, keteganganku lenyap. Pikiran jadi cerah meski badan agak lemas.. *** Sehari itu aku jadi tak bersemangat, ingat perbuatanku siang tadi. Rasanya aku telah berbuat dosa. Aku menyalahkan diriku sendiri. Bukan salahku seluruhnya, aku coba membela diri. Gambar-gambar itu juga punya dosa. Tepatnya, pemilik gambar itu. Eh, siapa yang punya ya ? Tahu-tahu ada di balik buku-bukuku. Siapa yang menaruh di situ ? Ah, peduli amat. Akan kumusnahkan. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi, tidak akan masturbasi lagi. Perasaan seperti ini masih terbawa sampai keesokkan harinya lagi. Sehingga kulewatkan kesempatan untuk meraba dada Mar seperti kemarin.

Ia telah memberi lampu hijau untuk aku “tindaklanjuti”. Tapi aku lagi tak bersemangat. Masih ada rasa bersalah. Hari berikutnya aku “harus” tegang lagi. Bukan karena Si Mar yang (menurutku) bersedia dijamah tubuhnya. Tapi lagi-lagi karena Si Putih molek itu, Tante Yani. Siang itu aku pulang agak awal, pelajaran terakhir bebas. Sebentar aku melayani Luki melempar-lempar bola di halaman, lalu masuk lewat garasi, seperti biasa. Hampir pingsan aku ketika membuka pintu menuju ruang keluarga. Tante berbaring terlentang, mukanya tertutupi majalah “Femina”, terdengar dengkur sangat halus dan teratur. Rupanya ketiduran sehabis membaca. Mengenakan baju-mandi seperti dulu tapi ini warna pink muda, rambut masih terbebat handuk. Agaknya habis keramas, membaca terus ketiduran. Model baju mandinya seperti yang warna putih itu, belah di depan dan hanya satu pengikat di pinggang. Jelas ia tak memakai kutang, kelihatan dari bentuk buah dadanya yang menjulang dan bulat, serta belahan dadanya seluruhnya terlihat sampai ke bulatan bawah buah itu. Sepasang buah bulat itu naik-turun mengikuti irama dengkurannya. Berikut inilah yang membuatku hampir pingsan. Kaki kirinya tertekuk, lututnya ke atas, sehingga belahan bawah baju-mandi itu terbuang ke samping, memberiku “pelajaran” baru tentang tubuh wanita, khususnya milik Tante. Tak ada celana dalam di sana. Tanteku ternyata punya bulu lebat. Tumbuh menyelimuti hampir seluruh “segitiga terbalik”. Berwarna hitam legam, halus dan mengkilat, tebal di tengah menipis di pinggir-pinggirnya. “Arah” tumbuhnya seolah diatur, dari tengah ke arah pinggir sedikit ke bawah kanan dan kiri. Berbeda dengan yang di gambar, rambut Tante yang di sini lurus, tak keriting. Wow, sungguh “karya seni” yang indah sekali! Kelaminku tegang luar biasa. Aku lihat sekeliling. Si Tinah sedang bermain dengan anak asuhnya di halaman depan. Si Mar di belakang, mungkin sedang menyetrika. Kalau Tante sedang di ruang ini, biasanya Si Mar tidak kesini, kecuali kalau diminta Tante memijit.

Aman! Dengan wajah tertutup majalah aku jadi bebas meneliti kewanitaan Tante, kecuali kalau ia tiba-tiba terbangun. Tapi aku ‘kan waspada. Hampir tak bersuara kudekati milik Tante. Kini giliran bagian bawah rambut indah itu yang kecermati. Ada “daging berlipat”, ada benjolan kecil warna pink, tampaknya lebih menonjol dibanding milik bule itu. Dan di bawah benjolan itu ada “pintu”. Pintu itu demikian kecil, cukupkah punyaku masuk ke dalamnya ? Punyaku ? Enak saja! Memangnya lubang itu milikmu ? Bisa saja sekarang aku melepas celanaku, mengarahkan ujungnya ke situ, persis gambar pertama, mendorong, seperti gambar kedua, dan …Tiba-tiba Tante menggerakkan tangannya. Terbang semangatku. Kalau ada cermin di situ pasti aku bisa melihat wajahku yang pucat pasi. Dengkuran halus terdengar kembali. Untung., nyenyak benar tidurnya. Bagian atas baju-mandinya menjadi lebih terbuka karena gerakan tangannya tadi. Meski perasaanku tak karuan, tegang, berdebar, nafas sesak, tapi pikiranku masih waras untuk tidak membuka resleting celanaku.

Bisa berantakan masa depanku. Aku “mencatat” beberapa perbedaan antara milik Tante dengan milik bule yang di majalah itu. Rambut, milik Tante hitam lurus, milik bule coklat keriting. Benjolan kecil, milik Tante lebih “panjang”, warna sama-sama pink. Pintu, milik Tante lebih kecil. Lengkaplah sudah aku mempelajari tubuh wanita. Utuhlah sudah aku mengamati seluruh tubuh Tante. Seluruhnya ? Ternyata tidak, yang belum pernah aku lihat sama sekali : puting susunya. Kenapa tidak sekarang ? Kesempatan terbuka di depan mata, lho! Mataku beralih ke atas, ke bukit yang bergerak naik-turun teratur. Dada kanannya makin lebar terbuka, ada garis tipis warna coklat muda di ujung kain. Itu adalah lingkaran kecil di tengah buah, hanya pinggirnya saja yang tampak. Aku merendahkan kepalaku mengintip, tetap saja putingnya tak kelihatan. Ya, hanya dengan sedikit menggeser tepi baju mandi itu ke samping, lengkaplah sudah “kurikulum” pelajaran anatomi tubuh Tante. Dengan amat sangat hati-hati tanganku menjangkau tepi kain itu. Mendadak aku ragu. Kalau Tante terbangun bagaimana ? Kuurungkan niatku.

Tapi pelajaran tak selesai dong! Ayo, jangan bimbang, toh dia sedang tidur nyenyak. Ya, dengkurannya yang teratur menandakan ia tidur nyenyak. Kembali kuangkat tanganku. Kuusahakan jangan sampai kulitnya tersentuh. Kuangkat pelan tepi kain itu, dan sedikit demi sedikit kugeser ke samping. Macet, ada yang nyangkut rupanya. Angkat sedikit lagi, geser lagi. Kutunggu reaksinya. Masih mendengkur. Aman. Terbukalah sudah.. Puting itu berwarna merah jambu bersih. Berdiri tegak menjulang, bak mercusuar mini. Amboi . indahnya buah dada ini. Tak tahan aku ingin meremasnya. Jangan, bahaya. Aku harus cepat-cepat pergi dari sini. Bukan saja khawatir Tante terbangun, tapi takut aku tak mampu menahan diri, menubruk tubuh indah tergolek hampir telanjang bulat ini. *** Aku jadi tak tenang. Berulang kali terbayang rambut-rambut halus kelamin dan puting merah jambu milik Tante itu. Apalagi menjelang tidur. Tanpa sadar aku mengusap-usap milikku yang tegang terus ini. Tapi aku segera ingat janjiku untuk tidak masturbasi lagi. Mendingan praktek langsung. Tapi dengan siapa ? Hari ini aku pulang cepat.

Masih ada dua mata pelajaran sebetulnya, aku membolos, sekali-kali. Toh banyak juga kawanku yang begitu. Percuma di kelas aku tak bisa berkonsentrasi. Di garasi aku ketemu Tante yang siap-siap mau pergi senam. Dibalut baju senam yang ketat ini Tante jadi istimewa. Tubuhnya memang luar biasa. Dadanya membusung tegak ke depan, bagian pinggang menyempit ramping, ke bawah lagi melebar dengan pantat menonjol bulat ke belakang, ke bawah menyempit lagi. Sepasang paha yang nyaris bulat seperti batang pohon pinang, sepasang kaki yang panjang ramping. Walaupun tertutup rapat aku ngaceng juga. Lagi-lagi aku terrangsang. Diam-diam aku bangga, sebab di balik pakaian senam itu aku pernah melihatnya, hampir seluruhnya! Justru bagian tubuh yang penting-penting sudah seluruhnya kulihat tanpa ia tahu! Salah sendiri, teledor sih. Ah, salahku juga, buktinya kemarin aku menyingkap putingnya. “Lho, kok udah pulang, To” sapanya ramah. Ah bibir itu juga menggoda. “Iya Tante, ada pelajaran bebas” jawabku berbohong. Kubukakan pintu mobilnya. Sekilas terlihat belahan dadanya ketika ia memasuki mobil. Uih, dadanya serasa mau “meledak” karena ketatnya baju itu. “Terima kasih” katanya. “Tante pergi dulu ya”. Mobilnya hilang dari pandanganku.

Bersambung . . . . .

Tante Yani - 4


“Sana mandi, cuci yang bersih niih” katanya lagi sambil menggenggam penisku waktu bilang ‘niih’

Ooohhh, nikmatnya hari ini aku.

Malam ini pertama kali aku ciuman dengan nikmat, pacaran sampai “keterusan”. Pertama kali penisku memasuki kelamin wanita. Pertama kali aku menumpahkan “air” ku ke dalam tubuh wanita, tidak ke perut atau ke lantai.

Lebih istimewa lagi, wanita itu adalah Tante Yani.

Wanita dengan tubuh yang luar biasa.

Bentuknya, potongannya, halusnya, padatnya, putihnya, bulunya…..

Padahal wanita itu sudah 26 tahun, sepuluh tahun di atas usiaku. Tapi lebih padat dari Si Ani yang 17 tahun, lebih manis dari Si Yuli yang sepantaranku, lebih indah dari Si Rika yang seumurku.

Yang masih mengganjal, wanita itu Tanteku, isteri Oom Ton. Ya, aku meniduri isteri Oomku! Aku mendapatkan pengalaman baru dari isterinya! Aku memperoleh kenikmatan dari meniduri isterinya. Isteri orang yang membiayai sekolahku, yang memberiku makan dan tempat tinggal!

Betapa jahatnya aku. Betapa kurangajarnya aku.

Aku sekarang jadi pengkhianat!

Mengkhianati adik misan ayahku!

Tapi, keliru kalau semua kesalahan ditimpakan kepadaku.

Siapa yang menyuruh memijat ?

Okey, seharusnya memijat saja, kenapa pakai mengelus ?

Pakai meremas pantat ? Habis, siapa yang tahan ? Aku masih 16 tahun, masih sangat muda, tapi sudah matang secara seksual, mudah terrangsang.

Tante sendiri, kenapa tidak menolak ? Bisa saja ia menempelengku ketika aku mau mencium bibirnya di karpet itu. Bisa saja ia menolak waktu aku membopongnya ke kamarku. Dan aku, bisa saja memberontak waktu ia merogoh celana dalamku, waktu ia menggenggam kelaminku dan diarahkan ke kelaminnya….

Kesimpulannya : salah kami berdua!

Tapi, aku ingin mengulangi ……….!

***

Paginya, kami sarapan bertiga, Aku, Oom, dan Tante. Aku jadi tidak berani menatap mata Oom waktu kami berbicara. Mungkin karena ada perasaan bersalah. Sedangkan Tante, biasa-biasa saja. Sikapnya kepadaku wajar, seolah tak terjadi apa-apa. Tak ada pembicaraan penting waktu makan.

Tante bangkit menuangkan minuman buat Oom. Kupandangi tubuhnya. Aku jadi ingat peristiwa semalam. Rasanya aku tak percaya, tubuh yang ada di depanku ini, yang sekarang tertutup rapat, sudah pernah aku tiduri. Aku ngaceng lagi..

Susah sekali aku berkonsentrasi menerima pelajaran hari ini. Pikiranku ke rumah terus, ke Tante. Bagaimana ia “menuntunku” masuk. Bagaimana aku mulai belajar “menggesek”, terus keenakkan. Aku ingin lagi…!

Tante bagaimana ya, apakah ia ingin lagi ? Aku meragukannya, mengingat semalam ia tidak puas. Jangan-jangan ia kapok. Tadi pagi sikapnya biasa saja. Mestinya sedikit lebih mesra kepadaku. Memangnya kamu ini siapa.

Lebih baik begitu, wajar saja, ‘kan ada suaminya.

***

Dua hari kemudian ketika aku pulang sekolah, kulihat ada mobil Oom di garasi. Apakah Oom Ton tak ke kantor hari ini ? Atau jangan-jangan Oom tahu kalau aku ..

Ah, jangan berpikir begitu. Dua hari terakhir ini sikap Oom kepadaku tak ada perubahan apa-apa. Sikap Tante juga wajar-wajar saja. Justru aku yang kelimpungan. Bayangkan. Setiap hari ketemu Tante. Aku selalu membayangkan “dalam”-nya, walau pakaian Tante tertutup rapat. Lalu, terbayang, aku sudah pernah menjamah tubuh itu, dan terangsang lagi.

Selama dua hari ini aku betul-betul tersiksa. Terlihat paha Tante yang sedikit tersingkap saja, aku langsung “naik”. Ooh..! Aku ingin lagiiiiii.

Siang ini aku makan sendirian. Kamar Tante tertutup rapat. Oom pasti ada di dalam, mobilnya ada. Tante juga tentunya. Mungkin mereka sedang …? Siang-siang ? Biar saja, toh suami-isteri. Sekejap ada rasa tak nyaman. Tanteku sedang ditiduri suaminya…! Aku iri! Memangnya kamu siapa ?

Baru saja aku selesai menyantap sendok terakhir makananku, kemudian mengangkat gelas, ketika tiba-tiba pintu kamar terbuka, Tante keluar, mengenakan baju tidur. Aku terpana. Tanganku yang sedang memegang gelas berhenti, belum sempat minum, terpesona oleh Tante dengan baju tidurnya. Kelihatan ia baru bangun tidur, melihatku.

“Sudah pulang, To”

“Udah dari tadi Tante”

Ia tutup pintu kamarnya kembali lalu mendekatiku, dan tiba-tiba mencium pipiku erat, lenganku merasakan lembutnya sesuatu yang menandakan Tante tak memakai kutang.

Hampir saja aku menumpahkan air minum karena kaget.

“Ada kabar gembira.”katanya berbisik. Sebelum aku berreaksi atas aksinya itu, Tante sudah beranjak ke belakang meninggalkanku.

Aku jadi penasaran. Penasaran pada benda lembut yang mendesak lenganku tadi, serta pada kabar gembira apa ?

Ketika Ia kembali lagi, aku berdiri untuk memuaskan rasa penasaran tadi.

Tante menempelkan telunjuknya ke mulut sambil matanya melirik ke kamar. Aku mengerti isyarat ini. Jangan ganggu, ada suaminya.

Sejam kemudian kulihat Oom Ton duduk di sofa ruang tengah bersama Tante. Oom Ton berpakaian rapi berdasi, seperti hendak ke kantor, sedangkan Tante mengenakan daster pendek tak berlengan berkancing tengah, daster kesukaanku. Terlihat segar, baru saja mandi, mungkin.

“Tarto” Oom Ton memanggilku.

“Ya, Oom”

“Oom mau ke Bandung, dua hari. Kamu jaga rumah ya ?”

Ini rupanya kabar gembira itu!

“Baik, Oom, kapan Oom berangkat ?”

“Sebentar lagi, jam tiga”

Dua hari Oom tak ada di rumah, tentunya dua malam juga. Dua malam aku menjaga rumah, bersama Tante.

Dua malam bersama Tante ? Bukan main!. Eit, jangan berharap dulu, ya. ‘Kan tadi Ia bilang kabar gembira ?

Kok kamu yakin kabar gembiranya Tante adalah karena Oom ke Bandung ? Jangan sok pasti ya!

Aku melirik Tante, Ia biasa-biasa saja.

Pak Dadan datang membawa tas di bahunya, masuk garasi menghidupkan mesin mobil.

“Papa berangkat ya, Ma”

“Ya, Pa, hati-hati di jalan, ya ?”

“Mama juga hati-hati di rumah”

Oom mencium pipi Tante, lalu menciumi Si Luki.

“Jaga baik-baik, ya To”

“Ya, Oom”

Seisi rumah mengantar Oom sampai depan pintu pagar, melambai sampai mobilnya berbelok ke jalan Tebet Timur Raya.

Semuanya masuk ke rumah kembali. Hatiku bersorak. Dadaku penuh berharap dan kepalaku penuh rencana.

Luki dibawa pengasuhnya ke rumah sebelah. Mbak meneruskan pekerjaannya di belakang. Aman. Tinggal aku dan Tante. Kuberanikan diriku. Kupeluk Tante dari belakang. Betul ‘kan, Tante tak memakai kutang. Wah, sudah lama sekali aku tak menyentuhnya.

Tante sedikit kaget, lalu berbalik membalas pelukanku. Cuma sebentar, melepaskan diri.

“Sabar, dong To”

“Tante …” Serak suaraku.

“Nanti malam saja ”

Aha, rencana di kepalaku bisa terlaksana malam ini.

Kami duduk berdampingan di sofa, sedikit berjarak. Aku nonton TV, Tante membaca.

Aku tak tahan lagi, penisku sudah tegang dari tadi. Sekarang baru jam setengah empat sore. Berapa jam lagi aku mesti menunggu ? Oh, lama sekali.

Tante, tolonglah aku. Aku tak sanggup lagi menunggu.

Kulihat sekeliling meyakinkan situasi. Luki masih sama si Tinah di tetangga. Mbak Mar menyetrika di belakang. Aman!

Kupegang tangan Tante yang sedang ada di pahanya. Dengan begini aku bisa meremas-remas tangannya sambil merasakan lembutnya paha. Ia sesekali membalas remasanku, tetap membaca.

Ditariknya tangannya untuk membuka halaman buku bacaannya, tanganku “tertinggal” di pahanya. Kesempatan.

Kuusap lembut pahanya. Paha itu masih seperti yang kemarin, padat, kenyal, halus, berbulu lembut. Masih tetap membaca.

Aku makin berani, tanganku bergerak ke atas menyusup dasternya. Kuusap celana dalamnya. Nafasnya mulai terdengar meningkat “volume”nya.

Diletakkannya buku itu sambil menghela nafas panjang.

“To., kamu engga sabaran, ya ?” katanya sambil memegang tanganku di bawah sana.

“Maafkan saya Tante, saya.. saya ..engga kuat lagi Tante, saya ingin lagi, Tante” Kataku terputus-putus menahan birahi yang mendesak. Kelaminku juga mendesak.

“Masih sore, To”

“Tolonglah., Tante, saya membayangkan terus setiap ..hari” kataku setengah memohon. Aku yakin Tantepun sebenarnya telah terangsang, terlihat dari nafasnya dan aku merasakan basah di celananya. Aku sudah sampai pada titik yang tak mungkin surut kembali. Situasi sekeliling aman. Jadi, apa lagi selain berlanjut ?

“Saya mohon, Tante” kini aku betul-betul memohon.

Ditariknya tanganku dari paha, lalu dituntun ke dadanya. Permohonanku diterima.

Kuremas buah dada itu yang hanya ditutupi selembar kain daster.

“Eeeeeeehhh” desahnya.

Tiga hari lalu, waktu aku pertama kali meniduri Tante (memang baru pertama kali aku berhubungan sex), aku belum sempat menikmati buah dada ini. Waktu itu kami sudah sama-sama terangsang sehabis aku memijatnya. Aku baru sempat meremasnya, itupun dibalik kutang. Lalu ketika kutangnya sudah terbuka, Tante sudah keburu menuntun kelaminku memasukinya.

Sekaranglah kesempatan untuk menikmati dada itu.

Kubuka kancing dasternya, satu, dua, tiga.

Dada itu mengagumkan.

Putih, besar, menonjol, bulat, bergerak maju mundur seirama nafasnya, putingnya kecil agak panjang tegak lurus ke depan berwarna merah jambu.

Aku berlutut di depannya, kusingkirkan daster itu, kucium belahan dadanya yang seperti parit kecil di antara dua bukit.

Halusnya buah itu dapat kurasakan di kedua belah pipiku.

Mulutku bergerak ke kiri, ke dada bagian atas, terus turun, kutelusuri permukaan bukit halus itu dengan bibir dan lidahku. Sementara tangan kananku mengusapi buah kirinya. Luar biasa, kulit itu haluuus sekali! Tangannya mengusap-usap belakang kepalaku. Penelusuranku berakhir di puncaknya. Kumasukkan putting itu kemulutku, kukemot.

“Aaaaaaaahhh” lenguhnya pelan sekali.

Tangannya menekan kepalaku.

Kukemot lagi, kuhisap, kupermainkan dengan lidahku, putting itu mengeras. Puting satunya lagi juga mengeras, terasa di antara telunjuk dan ibujari tangan kananku.

Ada kesamaan gerak antara mulut dan tangan kananku. Kalau mulutku mengulum puting, jari-jariku memilin puting sebelahnya. Bila bibir dan lidahku merambahi seluruh permukaan buah yang sangat halus itu, telapak tanganku merambah pula. Seluruh permukaan dada itu demikian halus, sehingga ada sedikit yang tak halus di sebelah puting agak ke bawah menarik perhatianku.

Kulepaskan muluku dari dadanya, ingin memeriksa. Di sebelah puting dada kiri Tante ada bercak merah. Kuperhatikan dan kuraba. Seperti bekas gigitan. Oh. Aku ingat tadi siang waktu makan. Ini pasti “hasil kerja” Oom Ton di kamar yang terkunci tadi..

Akupun ingin. Betapa enaknya menggigit buah kenyal ini.

Dada kanan bagianku. Kucium puting itu kembali, geser sedikit, aku mulai menggigit.

Tiba-tiba Tante mendorong kepalaku.

“Jangan, To. Kamu..mikir, dong” katanya sambil terengah-engah.

Ah, bodohnya aku. Kalau kugigit tentu nanti berbekas, jelas pemilik sahnya, Oom Ton, akan curiga!

“Maafkan saya Tante, habis gemas sih.”

“Yahhh.engga apa-apa. Kamu harus ingat, ini rahasia kita saja”

Dipegangnya dadanya sendiri lalu disodorkannya ke mulutku. Gantian, sekarang dada kiri dengan mulutku, yang kanan dengan tangan kiriku….

Sudah saatnya untuk pindah ke kamar.

Aku bangkit berdiri. Tante masih tergolek duduk. Kancing tengah dasternya sudah semuanya terlepas, menyibak kesamping, tinggal celana dalamnya saja. Dada itu rasanya makin besar saja.

Kutarik kedua tangan Tante, tapi ia melepaskannya. Dibukanya gesperku, lalu kancing celanaku, dan ditariknya resleting dan celana dalamku. Penisku yang tegang itu keluar dengan gagahnya persis di depan mukanya.

“Uuuuuuuuuhhhh” Tante melenguh pelan memegang kelaminku, dielusnya.

“Kok besar sekali sih To, punyamu ini”

Kuraih badannya, kubimbing ia ke kamarku sambil masih memegang senjataku, tertatih-tatih kami berdua.

Kukunci pintu kamarku, kurebahkan Tante perlahan di dipanku, kulucuti pakaianku, dengan bertelanjang bulat kudekati Tante.

Dengan perlahan kupelorotkan celana merah jambu itu. Kembali aku bertemu dengan rambut halus hitam mengkilat itu. Ada cairan bening di sana. Kutindih tubuhnya lalu kakinya menjepit tubuhku. Kamipun berciuman, saling menggigit lidah. Lalu akupun tak tahan lagi.

Aku bangkit. Kubuka kakinya lebar. Lubang sempit itu terbuka sedikit, merah. Sekarang aku tak perlu dituntun lagi. Aku sudah tahu. Kutempelkan kepala penisku ke lubang sempit itu, lalu kudorong hati-hati.

“Aaaaaaaaaaahhhhh, To, sedaaaaaap”

Kepalanya sudah masuk. Nikmaaaaaaaaaat!

Aku heran, lubang sesempit itu bisa “menelan” kepala penis besarku. Kenapa kupikirkan ? Yang penting enak.

Sambil memegangi kedua belah dadanya, aku mendorong lagi. Enak-enak geli atau geli-geli enak. Entah mana yang benar. Kudorong lagi, Aaah lagi, enak lagi, geli lagi.

Lagi kudorong, sampai habis, sampai mentok.

“Idiiiiiiiiiiiiih, Toooo, enak sekali”

Nyaman, sudah didalam seluruhnya.

Pinggul Tante mulai berputar. Aku tahu tugasku, menarik dan mendorong. Mulut Tante mengeluarkan bunyi-bunyian setiap aku mendorong. Melenguh, mendesah, kadang menjerit kecil, atau kata-kata yang tak bermakna.

Kejadian tiga hari lalu berulang. Baru beberapa kali “tusuk” aku sudah merasakan geli luar biasa. Nampaknya aku tak mampu menahan lagi. Ah, kenapa begini ? Aku tak bisa tahan lama. Aku cemas jangan-jangan Tante nanti kecewa lagi. Tapi bagaimana lagi, aku sudah hampir tiba di puncak.

Aku coba berhenti bergerak sambil menahan agar jangan sampai keluar dulu, persis kalau aku menahan kencing. Tapi begitu aku diam, pantat Tante langsung berputar. Seluruh bagian tubuh yang di dalam sana memeras-meras kelaminku. Oh, aku tak akan berhasil menahan diri. Langsung saja aku bergerak lagi, makin cepat malah. Ocehan Tantepun makin ngawur.

Aku jadi cepat, makin cepat dan semakin cepat, lalu ……. badanku bergetar hebat, mengejang, berulang, memuntahkan, mengejang lagi, muntah lagi…

Tante berhenti berputar, lalu menjepit kakiku, menerima pelepasanku.

Rasanya aku mengeluarkan banyak sekali

Lalu akupun ambruk di atas tubuh Tante.

Aku selesai. Selesai menggetar, selesai mengejang, selesai melepas, selesai semuanya. Tanteku selesai terpaksa. Aku yakin ia kecewa lagi.

“Tante, gimana Tante, saya engga bisa menahan lagi …”

“Hmmm, To”

“Maafkan lagi saya, Tante. Saya gagal”

“Sudahlah, To”

“Saya hanya memuaskan diri sendiri”

“Tante bilang sudahlah, kamu lumayan tadi”

“Lumayan gimana Tante ?”

“Ada kemajuan dibanding yang lalu. Tante merasa enak, tadi”

“Tante bohong! Tante cuma menghibur saya”

“Benar, To. Memang Tante merasa belum “tuntas”, tapi kocokanmu tadi bisa Tante nikmati”. Aku agak tenteram.

“Ini karena kamu belum biasa, To. Tante yakin, lama-lama kamu akan mampu. Barangmu kerasnya luar biasa”

“Gimana caranya supaya saya bisa lama, Tante ?’

“Nanti kamu akan tahu sendiri”

“Ajarin saya ya, Tante”

Tante tak menjawab. Akupun berdiam diri. Lama kami berdua membisu.

Tante melihat jam, pukul empat sore, lalu bangkit mencari-cari pakaiannya yang berserakan.

“Tante mandi dulu, ya ?”

Aku membantunya berpakaian.

Merapikan karet celana dalamnya, mengkaitkan kutangnya, mengancingkan dasternya. Ada sesuatu yang lain kurasakan. Aku merasa demikian “mesra” membantunya berpakaian. Aku serasa membantu isteriku!

Ya, barusan aku merasa meniduri isteriku.

Kupeluk Tante erat sekali, agak lama. Lalu kucium pipinya dalam-dalam.

“Tante”

“Apa, To ?”

“Tarto sayang Tante” kataku tiba-tiba.

Dipandangnya mataku lurus-lurus.

“Apa maksudmu To”

“Engga tahu Tante, pokoknya saya sayang sama Tante. Tante jangan kapok, ya ? Tarto ingin kita terus begini”

“Oh, itu maksudmu. Asal kamu bisa jaga rahasia”

“Bisa, Tante”

“Juga harus hati-hati”

“Iya,Tante”

Tanpa kusadari, penisku bangun lagi.

“Sudah, mandi sana” Tante ke luar kamarku

***

Malam itu aku nonton TV sendirian. Tante ada di kamarnya, tertutup. Aku kesepian. Aku mengharapkan Tante akan ke luar dari kamar menemaniku di sini. Kemudian aku mendekatinya, lalu ciuman, raba-raba, dan …diakhiri dengan hubungan suami-isteri.

Heran aku, baru tadi sore aku dipuaskan oleh Tante di kamarku, malam ini aku ingin lagi! Aku ingin kenikmatan itu lagi. Aku tetap menunggu.

Jam 9 malam. Tante belum juga muncul.

Pukul 9.30, tidak juga.

Kemarilah Tante, aku merindukanmu.

Malam ini adalah malam pertama Oom tak ada di rumah. Ayolah Tante, ini kesempatan yang tak boleh dilewatkan.

Atau kuketuk saja pintunya, lalu aku masuk ?

Ah jangan. Itu kurang ajar, namanya.

Tubuh indah itu sendirian di kamar.

Buah dada putih itu tak ada yang mengelusnya.

Kelamin berambut halus itu tak ada yang memasukinya malam ini.

Kenapa engkau tidak ke luar ?

Barangkali Tante memang tidak membutuhkannya. Paling tidak malam ini.

Ya, kalau ia butuh tentunya akan mendekatiku.

Jam 10, belum ada tanda-tanda.

Aku putuskan, malam ini memang Tante tak mau diganggu. Biar sajalah. Toh besok siang, sore, atau malam masih ada kesempatan. Oom Ton menginap di Bandung dua malam. Yah, besok sajalah.

Tapi aku ingin malam ini!

Aku ingin malam ini kelaminku masuk dan kemudian mengeluarkan cairan dengan nikmat!

Kemudian aku mengeluarkan penisku yang sudah tegang itu. Kata Tante punyaku ini besar. Entah benar-benar besar, aku tak tahu. Sebab aku belum pernah lihat punya orang lain.

Karena tidak ada Oom Ton, aku jadi makin berani menggoda Tanteku. Seperti waktu sarapan tadi. Aku mengelus-elus bahu dan lengan atasnya yang terbuka di meja makan. Bahkan mencium pipinya.

“Hati-hati, To”

“Ya, Tante, Kan saya lihat-lihat keadaan dulu”

“Mar ada di belakang” katanya.

“Tante”

“Ehm ?”

“Tarto sayang Tante”

“Aku udah ada yang punya, To” katanya sambil mencubit pahaku. Aku senang.

“Ya. Pokoknya saya sayang” Jangan-jangan aku jatuh cinta benar-benar sama Tanteku ini.

“Semalam Tante ke mana. Saya tunggu-tunggu”

“Ya. Tante tahu, kamu nonton TV. Kamu masuk kamar jam 10 ‘kan ? Masa’ mau terus-terusan”. Aku lega, Tante tak tahu perbuatanku semalam yang menyelinap ke kamar Mbak Mar.

“Iya dong. Mumpung ada kesempatan. Sekarang juga saya mau” kataku nakal.

“Gila, kamu To. Awas jangan sampai mengganggu sekolahmu!”

“Habis Tante betul-betul menggemaskan” Aku ngaceng lagi!

“Udah ah, berangkat sana, nanti telat”

“Tapi nanti lagi ya Tante, janji dulu”

“Lihat dulu nanti”

Bagaimana tidak mengganggu sekolah, seharian aku ingat Tante terus. Membayangkan apa yang akan kuperbuat nanti bersama Tante.

Bersambung . . . ..

Tante Yani - 6


Untuk kesekian kalinya kami saling menggenjot. Bersama menuju puncak. Berbarengan menggelepar. Sudah itu Sama-sama lemas Sama-sama puas.
Oh, betapa bahagianya aku. Kebutuhan lahir dan batin terpenuhi. Kurang apa lagi ? ***

Tak ada yang kurang pada diri Tante. Cantik, putih, tubuh bagus, permainan di tempat tidur luar biasa, dan kreatif. Kreativitas Tante tercermin dari cara bersetubuh. Ada saja yang dilakukannya yang membuatku merasa bersetubuh dengan orang baru. Selalu ada hal baru dalam setiap permainannya. Sejak Tante memperkenalkan “posisi 69?, aku selalu minta dikulum penisku sebagai acara pembukaan. Tante juga amat menikmati permainan lidahku di vaginannya. Seperti biasa sepulang sekolah aku mendekati Tante untuk melaksanakan ‘tugas’ rutin, bersetubuh. Aku sudah membuka resleting celanaku, mengeluarkan penisku yang tegang di dekat Tante yang sedang duduk di tepi ranjang, masih berpakaian lengkap, di kamar Tante yang sudah kukunci. Yah, semacam pemberitahuan bahwa aku sudah siap. Tapi tante menyambut dengan dingin, tak seperti biasanya. Ia hanya mengelus-elus. Ketika dengan kurang ajar aku mendekatkan kelaminku ke mulutnya, ia hanya mengecup lembut kepalanya, tidak dikulum seperti biasanya, paling-paling hanya menggenggam. “Tante engga bisa sekarang, To” “Kenapa Tante ?” “Tante lagi …itu..”

“Lagi apa, Tante ?” “Lagi mens.” “Mens ? Apa itu Tante ?” “Kamu engga tahu ?” “Bener, Tante. Saya sungguh engga tahu” Memang aku tidak tahu. “Begini, setiap bulan wanita yang sudah dewasa mengalami masa menstruasi.
Wanita yang normal pasti mengalami” Lalu Tante memberiku kuliah tentang menstruasi itu.

Bahkan ditunjukkannya kepadaku celana dalamnya yang berbalut itu. “Kalau begitu, besok saja ya, Tante” pertanyaan bodoh memang. “Engga bisa To. Masa mens biasanya sekitar seminggu. Tapi kalau Tante sekitar 4 5 hari.” Wah, menunggu 4 5 hari, mana tahan ? “Tapi Tante, saya ingin …” “Engga, To. Sabar aja ya, yang…” Aduh, pusing juga aku, keinginan sudah sampai ke kepala. “Bagaimana kalau begini saja Tante..” Kataku sambil menempelkan penisku ke bibir Tante, minta dikulum. “Engga bisa juga, To. Itu namanya kamu egois. Kamu bisa puas, tapi kalau Tante terangsang, gimana ?” Benar juga kata Tante. “Maafkan saya, Tante. Saya sungguh-sungguh belum tahu” kataku sambil memeluknya dengan mesra. “Engga apa-apa, To. Tante maklum” Dimasukkannya penisku, celana dalamku dibetulkan letaknya, lalu ditutupnya resleting celanaku. Mesra sekali. “Awas, ya. Jangan cari sasaran lain” katanya. Kucium kedua belah pipi Tante, dengan mesra juga. “Engga dong, Tante. Emangnya apaan.”

Ternyata ada yang belum aku ketahui tentang wanita Sekarang masalahku, mana bisa aku menunggu 4 5 hari tanpa bersetubuh, setelah hampir tiap hari menikmati. Pulang sekolah agak kaget aku mendapati Tante duduk di sofa, membaca. Kucium pipinya. “Engga senam, ‘yang ?” “Engga, lagi banyak-banyaknya” “Apanya yang banyak ?” “Ah, kamu. Ya mens-nya” Aku mengerti. Tapi berarti hilang juga kesempatanku siang ini menyatroni mBak Mar. Paling tidak aku harus menunggu 2 hari lagi, jadwal senam Tante berikutnya, atau menunggu sampai Tante “bersih”.
Malamnya, terkantuk-kantuk aku menunggu Oom Ton dan Tante masuk kamar. Pukul 10.15 mereka masih asyik menonton TV.

Aku masuk kamar duluan, gelisah. Setengah jam berikutnya kudengar TV dimatikan, lampu tengah juga, lalu kudengar suara pintu ditutup dan dikunci. *** Sengaja aku datang ke sekolah lebih pagi. Hari in ada ulangan Fisika dan aku merasa belum siap. Di rumah aku tak bisa konsentrasi belajar, ingatanku ke Tante melulu. Apalagi sekarang udah beberapa hari aku tak bersetubuh, pusing aku, mana bisa belajar di rumah. Pagi ini kesempatan terakhirku untuk belajar Fisika menghadapi ulangan nanti. Belum banyak kawan yang datang, cuma ada Tono, Edi dan Rika yang lagi ngrumpi. Dito belum nongol. Aku ambil bangku paling belakang, mojok, lalu mencoba berkonsentrasi. Lumayanlah dalam setengah jam aku bisa memecahkan soal-soal yang kuperkirakan akan keluar nanti. Juga beberapa rumus sempat “masuk’ ke otakku, sampai seseorang datang menghampiriku dengan senyuman yang amat manis. Yuli memang manis, apalagi kalau senyum. Masih ingat dengan Yuli, pembaca ? Yuli teman sekelasku yang kugambarkan badannya biasa-biasa saja, dadanya menonjol wajar dan wajahnya manis. Akhir-akhir ini kami makin akrab, sebatas dalam pelajaran lho! Sering saling meminjam buku catatan, diskusi soal-soal PR, atau cuma ngomongin guru-guru. Makin dekat kurasakan Yuli makin menarik, dadanya makin menonjol aja. Aku sudah berada di pelukan Tante sih, jadi aku kurang memperhatikan Yuli. Entah ini hanya ge-er saja, kulihat Yuli begitu ceria kalau berdekatan denganku. “Rajin bener. belajar Fisika ya..?” tegurnya sambil duduk di sebelah kananku. “Ah engga. Justru karena aku males, baru sempet belajar sekarang” sahutku “Pinjam catatan Matematiknya dong Tar” “Matematik ? Kan entar ulangan Fisika” “Iyyaa. Tapi kemarin gua engga sempet nyatet jawaban soal kemarin” Aku ulurkan buku Matematik, sambil memgang tangannya. Yuli membiarkan tanganku meremas tangannya, meskipun kemudian dia tarik tangannya, without any words. Tanda “penerimaan”. Tangannya halus bener .. Lalu dia dengan serius memelototi catatanku itu. Anak ini memang serius banget kalau belajar. Mataku tak lepas memperhatikannya.

Dia mungkin tahu aku melihatnya, tapi pura-pura tidak tahu. Ah .. Ini dia. Di sela-sela kancing bajunya, aku sempat “mencuri” keindahan sebelah buah yang tumbuh di dadanya. Hanya sedikit sih, tapi cukup membuatku “berdiri”. Apalagi daging itu terlihat sedikit naik-turun seirama tarikan nafasnya. Ah seandainya ..khayalanku melayang tinggi. Kuperiksa keadaan sekeliling. Masih sepi, memang masih pagi sih. Hanya ada 2 kawan yang tadi, lagi asyik menulis. Sekaranglah waktunya! Toh 2 teman tadi menghadap ke depan kelas, tak akan melihat bila aku “menggarap” Yuli. Segera saja tangan kananku merangkul bahu Yuli. Tak ada reaksi. Aksi kuteruskan dengan memegang dagu dan menariknya. Mata Yuli sedikit membelalak, agak kaget mungkin, tapi tak ada tanda-tanda penolakan. Ah. bibir merah membasah yang menggairahkan. Kucium bibirnya. Dan … Yuli membalas ganas ciumanku..! Tanganku mulai membuka kancing baju putih itu, lalu empat jariku menyusup ke balik BH-nya. Halus, padat, dan lumayan besar. Aku meremas. Yuli melenguh. Jariku mencari-cari putingnya. Mengeras. Tangannya kepangkuanku. Meremas juga.

Sambil masih berciuman, aku melirik dua temanku tadi, mereka masih tak acuh sibuk sendiri. Aman! Bibirku menelusuri lehernya yang licin, terus kebawah. Kancing bajunya sudah terbuka semuanya. Kulepas baju seragamnya, lalu kudorong Yuli hingga rebah di bangku sekolah! Aku menindihnya hingga tubuh kami “lenyap” dari pandangan teman-teman tadi kalau mereka menengok ke belakang. Kuciumi habis-habisan kedua bukit perawan itu. Aku yakin bukit kembar ini belum tersentuh oleh “pendaki” manapun. Keras, dan padat. Aku tak sanggup menahan lagi. Walaupun pakaianku masih lengkap nempel di badan, tapi meriamku sudah nongol tegak dari rits celana, siap.
Kusingkap rok abu-abu itu jauh-jauh ke atas.

Kupelorotkan celana dalam krem-nya… Amboi … bulu-bulu halus, merata di seluruh permukaan kewanitaanya.. Luar biasa.. Masa aku kerjain di sini, di kelas ? Biar saja. Kalau nanti ketangkap basah gimana ? Peduli amat. Kalau sudah begini, mana bisa “delay”, apalagi “cancel”. Lagi pula Yuli sudah merintih-rintih sambil membuka pahanya agak lebar. We got the point no return! Mulai sekarang ? Ya, tunggu apa lagi. BH-nya masih nempel. Biar saja, tak ada waktu lagi. Kutempatkan penisku ke “tempat yang layak”. Menyapu-nyapu sebentar di seputar pintu-basahnya, lalu mulai menusuk. “Uuuuhhhhhh ..” Yuli melenguh. Mentok. Padahal baru “kepala”ku yang tenggelam. Tusuk lagi dengan menambah tekanan. “Aaaahhhhh .pelan ..pelan ..sakiiit…” Desahnya pelan dan terbata-bata. Buset! Susah bener. Vagina yang satu ini sempit benar. Apa betul, Yuli masih perawan .? Mungkin juga. Sebab biasanya kalau sama Tante Yani tusukan begini sudah mampu mencapai “dasar”. Aku tusuk lagi lebih kuat, bahkan sekuat tenagaku. Dan ….. “Heh! ngelamun aja!”kudengar suara agak membentak. Suara Yuli! Aku tersadar.

Aku kembali ke alam nyata. Kembali dari lamunan nakal. Lamunan bersetubuh dengan gadis yang duduk di sebelahku ini. Gadis yang baru saja mengagetanku! Ah.sialan. Kenapa aku begini ? Gara-gara mengintip sedikit buah Yuli, aku jadi melayang.. *** Hari berikutnya aku kurang beruntung. Tante ada di rumah mengajakku ngobrol. Hanya ngobrol. Sayang sekali tubuh molek ini belum bisa “dipakai”. Sembulan dada bagian atas Tante dan sedikit belahannya cukup membuatku kepingin. “Tante…” panggilku dengan suara serak” “Hmm ?” “Saya pengin, Tante” “Kamu itu, engga sabaran, engga pernah puas” “Bukan begitu, Tante. Saya puas, puas sekali. Cuma ketagihan, habis enak sih. Udah biasa setiap hari…” “Sabar, dong” katanya sambil menggenggam selangkanganku. “Eh, udah keras..” katanya lagi. “Iya, Tante. Saya siap setiap saat” kataku meniru iklan “Dasar…….! Dua hari lagi” “Lama bener..” Besok siangnya lagi, ada kejutan baru untukku. Tidak bersetubuh sih, tapi menyenangkan. Tante sedang duduk di sofa menyulam.

Begitu datang aku langsung menyingkirkan kain sulamannya, lalu kucium pipi dan kemudian bibirnya. Aku langsung tahu bahwa dibalik gaun merah jambu, warna kesukaannya, Tante tak memakai BH. “Mandi dulu sana, To” “Udah bisa, Tante ?” tanyaku cerah. “Ih, kesitu aja pikiranmu. Belum, belum bersih” jawabnya sambil menuntun tanganku ke bawah perutnya. Masih ada pembalut di sana. “Jadi, gimana dong Tante” kuremas dadanya yang tak berkutang. “Pokoknya kamu mandi dulu” Aku mandi dan mengganti baju dengan penuh harap, barangkali ada kreativitas baru dari Tante. Aku keluar kamar. Ini dia kejutannya. Tante masih duduk di situ, hanya kancing gaunnya telah dibuka sampai perut, mempertontonkan sepasang buah dada yang mengagumkan.
Luar biasa. Berani benar Tante ini, bertelanjang dada di ruang tengah.

Jelas belum bisa bersetubuh, tapi kelakuan Tante ini menandakan ada permainan apa lagi nih. Langsung saja kuserbu buah dada itu. “Eeeeehhhhmmmmmm” Dengan gemasnya aku mengacak-acak buah indah itu dengan mulut dan tanganku. Belum puas aku bermain dengan dada, Tante mendorongku sampai aku berdiri di depannya. Lalu.Tante membuka kancing jeans-ku! “Tante… Si Mar nanti…..” “Engga ada, lagi pergi…” Dibukanya resleting celanaku, diturunkannya celana dalamku, lalu dikeluarkannya penisku yang langsung tegang, digenggam pangkalnya, terus diciumi ‘kepala’-nya, lalu masuk mulutnya! Ooooohhh, nikmat sekali permainan baru ini. Suasana baru. Bayangkan. Di ruang tengah, berdua masih berpakaian, aku hanya mengeluarkan kelaminku, Tante mengulumnya dengan bertelanjang dada! Oh, indahnya dunia ini. “Ooohhhhhhhhh, Tante, …sedaaaaappp.” Kepala Tante bergerak maju-mundur, sangat perlahan. Terasa sekali bibirnya menjepit dan bergerak menelusuri permukaan penisku. “Tante..Tante…enaaaaaaaak, Tante..” Tante terus saja.

Tanganku dituntun ke buah dadanya. Aku sampai lupa diri tak berbuat apa-apa pada Tante. Habis sedap sekali sih! Kedua tanganku meremasi sepasang buah kenyal itu. Tante terus bekerja. Geli, Tante…! Ya, geli. Aku hampir ke puncak. Entah mengapa kali ini aku cepat mendaki. Mungkin karena pintarnya bibir dan lidah Tante merayapi permukaan kulit kelaminku, atau karena suasana yang aneh ini. Aku tak mampu menahan lebih lama lagi. Tante rupanya tahu kalau aku hampir sampai, ia mempercepat gerakannya. Bagaimana kalau keluar, aku tak tega kalau sampai menumpahi mulut Tante dengan spermaku. Segera..ya..segera sampai…. Dilepasnya kulumannya, tangannya yang memegang sapu tangan secepat kilat menutupi kelaminku dan digenggam. “Aaaaaaaaaahhhhhh” sambil berteriak aku muncrat. Sedaaaaaaap. Tante meremas. Muncrat lagi, enak, meremas lagi, muncrat, nikmat, remas, sedap, muncrat, remas…. Beberapa detik aku terbang, kakiku goyah, lalu mendarat ditubuh Tante. Kucium mulutnya. Masih ada muncratan lagi, tertampung di saputangan. Ada lagi, makin sedikit….. Beberapa saat aku masih menubruk Tante, ia masih menggenggam dengan saputangan.

“Terima kasih, Tante…” “Enak, To ?” “Sedaaaaaaap, Tante. Tapi lebih nikmat ke sini…” jawabku sambil memegang benda yang masih berpembalut itu. “Masih pusing ?” “Hilang, Tante. Lepas sudah…” Keteganganku memang lepas. “Tante sendiri, gimana dong, Tante ?” “Engga apa-apa. Ini ‘kan cuma membantu kamu” Kupeluk lagi Tante lebih erat.
Aku makin sayang saja sama Tanteku ini. “Terima kasih, Tante. Tarto makin sayang sama Tante” kataku jujur.

“Sudah, cuci dulu sana. Ih, banyaknya….” “Iya, habis sudah tiga hari engga keluar.”. *** Sejak peristiwa ‘penguluman di ruang tengah’ kemarin itu aku jadi makin berani ‘kurang ajar’ kepada Tante. Seperti siang ini. Waktu Tante sedang duduk membaca di ruang tengah, aku mendekatinya dari belakang dengan kelaminku sudah kukeluarkan, terjulur kutempelkan di pipi Tante. “He, ngawur kamu.!” Tante kaget. Ditariknya punyaku. “Aauuu” aku teriak. “Masukkin, engga aman!” “Iya Tante, saya tahu. Cuma bercanda” Di hari berikutnya Tante membalas. Sewaktu aku sedang makan siang sendiri, Tante mendekatiku, sangat dekat sehingga perutnya hanya berjarak beberapa senti dari pipiku. Kucium bawah perutnya. Lalu Tante meraih tanganku, dimasukkan ke balik gaunnya, langsung vaginanya terpegang. Tak ada celana dalam di balik gaun Tante. “Sudah bersih, Tante ?” “Sudah..” Kuangkat gaun itu sehingga ‘rambut’ yang menggemaskan itu nampak. Aku langsung tegang, berarti siang ini bisa. Aku langsung berdiri meninggalkan makanku, memeluknya. “Tunggu dulu” kata Tante sambil mendorongku terduduk kembali. “Kali ini Oommu dulu, ya..”

Katanya sambil meninggalkanku masuk ke kamarnya. Kurang ajar! Oom Ton ada di kamar. Seharusnya aku tahu, mobilnya ada di garasi. Tante masih sempat melihatku sambil tersenyum, sebelum ia mengunci kamar. Aku makin tegang ketika setengah jam kemudian lamat-lamat mendengar suara erangan Tante dari kamar.. Aku masuk kamar, tak tahan di situ. Tante sudah selesai mens-nya, seharusnya siang ini ia milikku. Tapi Oom Ton merebutnya. Merebut ? Memang Oom Ton pemilik sah. Aku gagal mencoba berkonsentrasi membaca Fisika, besok ulangan. Bayangan Tante disetubuhi suaminya yang muncul. Ah, sialan.. Setelah mencoba menyadari posisiku, aku jadi agak tenang. Aku ‘kan hanya kemenakannya yang dibantu, lahir dan batin, kenapa musti sewot ? Kelaminku mulai surut. Tapi itu tak lama. Tiba-tiba Tante masuk, langsung mengunci pintu kamarku. Disodorkan buah dadanya ke mulutku. Buah itu masih berkeringat, juga wajahnya. Tak peduli. Aku serbu dada itu, masih duduk di kursi belajarku. Kelaminku langsung membesar lagi.

Tante dengan tergopoh-gopoh membuka resleting celanaku, mengeluarkan isinya yang sudah keras menjulang.

Ia melangkah naik ke pahaku. Mengarahkan kelaminku ke vaginanya, dan….blessss aku langsung masuk…! Gila! Tanpa pemanasan dulu Tante langsung main. Di kursi lagi. Untung aku cepat siap. Jadilah kami ‘berkudaan’ di kursi. Tante semangat sekali nampaknya. Dengan posisi berpangku berhadapan ia di atas, Tante leluasa mengeksplorasi penisku. Aku lebih pasif. Hanya kadang-kadang saja menusuk, soalnya berat, harus mengangkat tubuhnya dengan pinggulku. Edan! Setengah jam yang lalu aku mendengar Tante mengerang di kamarnya bersama Oom Ton, sekarang ia berkudaan denganku, sementara suaminya (mungkin) sedang pulas di kamar sebelah! Seakan ia tak ada puasnya. Atau jangan-jangan ia belum puas dengan suaminya lantas melanjutkan di sini ? Hanya Tante yang tahu. Betapa trampilnya ia menggenjot. Vaginanya begitu menjepit dan mengurut penisku, berulang-ulang. Begitu rupa ia menstimulasi kelaminku, membuat aku cepat naik. Geli sekali. Makin cepat dia, makin geli aku. Tiba-tiba tangannya mencekram kepalaku kuat sekali. Tubuhnya bergetar hebat, mengejang. Di dalam sana berdenyut-denyut.

Bahuku digigitnya. Getaran tubuhnya makin hebat, lalu mendadak berhenti menggenjot. Mengerang. Tante sedang melayang di puncak.. Akupun hampir sampai. Aku sekarang yang menggenjot. Tante teriak. Vaginanya menjepitku teratur menandakan Tante telah orgasme. Aku tak peduli, sebab aku belum, cuma hampir sampai, terus menggenjot. Tante masih mencekeram erat, secara pasif mengikuti gerakan tusukanku yang naik-turun, lalu…akupun mengejang, melepas. Heran, Tante mengerang lagi, seharusnya aku yang teriak. Tante ikut menikmati ejakulasiku. Sejurus kemudian kami diam, masih berpelukan, Tante belum mencabut. Hanya nafas kami berdua yang masih berkejaran. “Tante hebat…” aku membuka percakapan “Apanya yang hebat, justru kamu yang hebat. Tante tadi ‘kan duluan” “Ah, kita hampir bersamaan kok tadi” “Jadi apa maksudmu hebat” “Tante bisa dua kali berturutan” “Ooh itu, engga juga sih..” “Tadi saya mendengar, waktu Tante sama Oom” “Ah, masa.?” “Iya, Tante mengerang, saya jadi ngiri.” “Kan kamu dapat juga” “Itulah makanya Tante bisa dua kali” “Kamu juga bisa dua kali, waktu malam itu.” “Iya, tapi ‘kan ada jarak waktu” “Sebenarnya Tante tadi cuma sekali” “Yang benar, Tante. Barusan Tante ‘kan sampai puncak..” “Iya. Cuma itu. Sama kamu” “Tadi sama Oom..” aku mulai menyelidik tentan hubungan Oom dan Tanteku ini. Tante diam saja. “Kok diam, Tante” aku benar-benar ingin tahu. “Ini kan masalah Tante dengan Oom-mu, rahasia dong” “Please, Tante, cerita dong. Tante kan isteri ku juga” buah dadanya kucium, putingnya masih keras. “Kamu engga usah tahu” “Ayolah, Tante” Tante diam lagi agak lama. Lalu…. “Sama Oommu Tante belum sampai …..” Kaget juga aku. Jadi, tak berhasil orgasme dengan suaminya lalu melanjutkan denganku. “Ah masa, Tante” “Itulah kenyataannya, To. Oom-mu engga bisa memuaskan Tante” Mungkin inilah sebabnya, Tante tiap siang tak menolak aku setubuhi, bahkan menikmati. “Pantesan……” “Pantesan apa ?” tanya Tante “Tadi Tante langsung masuk, engga pemanasan dulu” “Tante tadi senewen, To.

Ada rasa menggantung, ada yang harus dituntaskan” “Untung saya tadi udah siap” “Sory ya To…” “Engga apa-apa, Tante. Saya tadi juga puas. Cuma lebih nikmat kalau pemanasan dulu” “Kamu harus mulai terbiasa begini, To. Seperti yang Tante bilang dulu, Tante butuh kamu. Jangan kaget kalau tiba-tiba Tante pengin. Tante harus mencapai orgasme. Kalau tidak Tante bisa gila..” “Saya siap, Tante, Betul. Kapanpun Tante butuh saya, silakan saja Tante. Saya juga menikmatinya, Tante. Tanpa pemanasanpun saya engga apa-apa. Tadi saya bilang begitu, itu hanya akan lebih nikmat kalau dengan pemanasan. Kalau tidakpun engga apa-apa” “Syukurlah, To. Pemanasan gimana yang kamu inginkan, To ?” “Seperti inilah Tante” jawabku sambil menciumi dadanya. “Itu kalau kita sempat. Kalau kaya tadi, gimana ?” tanyanya lagi. “Kan saya siap, Tante” “Iya sih. Maksud Tante supaya kamu lebih nikmat, kamu perlu pemanasan” “Yang biasanya kita lakukan sudah dengan pemanasan ‘kan. Cuma tadi saja, yang tidak” jawabku sekenanya. Pertanyaan Tante sulit kujawab. “Waktu kamu denger Tante sama Oom tadi, kamu gimana” “Saya terangsang, Tante” “Okey, Tante ada ide buat pemanasan kamu, To. Tapi ide gila, mungkin” “Silakan, Tante. Saya senang sekali. Tante kreatif, saya menikmatinya” ‘Jangan kaget, ya. Kamu tahu kamar si Luki ?” “Tahu Tante” kamar Luki bersebelahan dengan kamar Tante. “Disitu kan ada pintu yang tembus ke kamar Tante” “Saya engga perhatikan, Tante” “Kalau kunci pintu itu Tante cabut, kamu bisa lihat ke kamar Tante dari lubangnya….kamu ngerti apa yang Tante maksud ?” “Belum, Tante” “Lubang kunci itu lurus ke tempat tidur..” Amboi. Berarti, kalau aku mengintip lewat lubang itu, aku bisa lihat kejadian tempat tidur Tante. Hubungannya dengan pemanasan, berarti….hebat, ide yang hebat. Kucium bibir Tante dengan gemas. “Ide brilian! Setuju banget tante!” kataku gembira. “Ntar dulu, setuju apa ?” “Aku akan mengintip Tante sama Oom, sebagai pemanasan” “Kamu cerdas. Menurut kamu ini gila, engga” “Engga! Saya mau Tante. Kita coba nanti malam ya.?” “Semangat banget” “Pengalaman baru”

Aku sangat ingin melihat bagaimana Tante melayani Oom, bagaimana permainan Oom Ton! Tante diam lagi. Hanya sekejap, lalu. “To, Tante ingin main sama kamu di tempat terbuka…” kaget lagi aku. Tempat terbuka ? Aneh. Ini sih hebat banget. Aku ingat kemarin, Tante mengulumiku di ruang tengah. Nikmat. “Ide Tante memang hebat-hebat. Saya suka Tante. Tapi aman engga ? “Itu masalahnya” “Kita cari kesempatan, Tante. Pasti nikmat deh” Tante pelan-pelan bangkit, melepas. “Eeeeeeeeeehhhhhhhhh” lenguhnya mengiringi pencabutan ini.
Di pintu kamarku Tante nengok kanan-kiri sebelum keluar. Aku ke kamar mandi.

Selesai dari kamar mandi aku lihat kamar Luki, kosong. Luki sedang dibawa pengasuhnya keluar. Pelan-pelan aku masuk, hati-hati pintunya kukunci. Ini dia pintu penghubung tadi. Aku mengintip. Tak melihat apa-apa, kuncinya masih menggantung. Aku kecewa. Kuncinya hanya bisa dicabut dari arah kamar Tante. Ia harus membantuku. Aku mencari Tante, lagi di kamarnya. Lebih baik aku makan dulu sambil menunggu Tante keluar. Benar, Tante keluar, segar sekali nampaknya. “Tante, cabut dulu kuncinya, saya mau coba” bisikku. Tante tersenyum, masuk lagi ke kamarnya. Dari lubang kunci di kamar Luki aku bisa melihat dengan jelas dari arah kaki, Oom sedang tidur pulas, hanya bercelana tidur. Kubayangkan, dari arah bawah ini aku akan bisa lihat kelamin mereka berdua, baik posisi ‘biasa’, Tante di bawah, atau Tante di atas. Kecuali kalau mereka memutar posisi dengan kakinya ke arah bantal, aku hanya bisa melihat kepala mereka, paling-paling dada Tante. *** Malam itu sekitar pukul 10, aku sudah berada dalam kamar Luki yang sudah pulas. Dari lubang kunci aku lihat mereka sedang membaca. Hanya sekali-sekali mereka bicara.

Oom Ton mengenakan pakaian tidur lengkap, Tante memakai daster. Aku menyadari sebenarnya berbahaya aku disini. Bisa saja tiba-tiba Oom membuka pintu ini untuk melihat anaknya. Jadi setiap Oom bangkit, aku harus siap-siap. Kalau Tante sih, aku engga perlu bereaksi. Tegang juga aku. Ah, ternyata Tante juga berpakaian ‘lengkap’. Sekarang aku bisa dengan jelas melihat celana dalam merah jambu itu, karena Tante mengangkat sebelah kakinya. Kecil kemungkinannya mereka akan main malam ini. Setengah jam aku capek menunggu, Oom mematikan lampu baca, lalu tidur.
Kamar itu walaupun hanya diterangi lampu tidur, tapi cukup jelas aku bisa melihat tubuh mereka.

Dengan kecewa aku kembali ke kamar dan tidur…. Esok siangnya, ketika kami baru saja melaksanakan ‘tugas’ nikmat dan masih terlentang berdua tanpa busana, kutanyakan pada Tante tentang semalam aku tak jadi menyaksikan ‘pertunjukan’ Tante dan Oom main. “Yaa.itulah To, Oom-mu memang jarang meminta, paling dua kali atau bahkan cuma sekali seminggu. Makanya Tante butuh ini” jawabnya sambil mencekal kelaminku. “Kenapa engga Tante yang minta” “Ah, Tante ‘kan melayani Oom-mu” “Tak ada salahnya Tante yang mulai” “Betul, memang. Tapi, sering Tante malah kecewa. Oom-mu kan hobinya kerja, jadi mungkin capek. Lebih baik Oom-mu yang mulai, itu artinya dia betul-betul butuh” “Sayang, memiliki badan sebagus ini tak optimal dimanfaatkan” kataku sambil mengelus buah dadanya. Tak bosan-bosannya aku pada buah kembar yang indah ini. “Sekarang sudah optimal” “Ya. Dan sayalah yang beruntung” “Tante juga beruntung punya kamu” Kamipun berpelukan erat. Kalau sudah begini, aku bisa lupa semuanya. Lupa pada Yuli, Rika, atau mBak Mar. Aku berguling, jadi menindihnya. Pahaku mendesak di antara pahanya. Penisku mencari-cari. Dan….aku masuk lagi.

“Heeeeh!’ Tante teriak kaget. Aku mendorong. “Eeeeeeeehhhhhh” lenguhnya. Sekarang ia tak kaget lagi.

Aku menarik dan mendorong. Aku menikmati. Tante juga. Aku tak ingat bahwa ia tanteku. Tante lupa bahwa aku kemenakannya. Bahkan lupa bahwa kami berdua manusia. Begitu ‘gila’nya kami bermain, kami lebih mirip hewan. Hewan yang sedang menikmati reproduksi. Reproduksi bukan untuk mendapatkan keturunan, cuma untuk kenikmatan. Dan..kenikmatan kami dapatkan secara bersamaan. Gila! Sesiang ini kami telah dua kali bersetubuh! Memang edan. “Edan kamu, To…” komentar sesudahnya. “Supaya optimal, Tante..” komentarku juga. Kurasakan bagian dalam vaginanya berdenyut-denyut meremas penisku. Permainan yang melelahkan. Aku jadi lemas, penisku jadi pegal. Pegal-pegal nikmat ….!

Tamat